Jumat, 18 Agustus 2017

Proposalnya Ibu Rina Pusparani






BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Pendidikan yang dilaksanakan Pemerintah Hindia Belanda umumnya bertujuan untuk memenuhi keperluan tenaga kerja untuk kepentingan kaum modal Belanda. Untuk itu penduduk pribumi dididik untuk menjadi pegawai tingkat rendahan. Ada juga yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga didik, tenaga pertanian dan lain-lainnya yang diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua dan tiga. Secara singkat tujuan pendidikan adalah untuk memperoleh tenaga kerja murah. Hal ini terbukti dengan rendahnya upah pegawai negeri dan pekerja pribumi dibandingkan dengan upah orang-orang Barat pada pekerjaan yang sama. Tujuan pendidikan ini erat hubungannya dengan masalah ekonomi yaitu untuk mengalirkan keuntungan yang sebesar-besarnya pada kas Belanda. Tidak ada keinginan untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan kaum pribumi (Mestoko, 1986: 109-110).
Pemerintah mulai mempunyai perhatian terhadap pendidikan pribumi pada pertengahan abad ke-19 (Niel, 1984: 44). Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan akan tenaga-tenaga terdidik dari kalangan bumiputra untuk melancarkan kebijakan  ekonomi  mereka  karena   untuk  mendatangkan   pegawai dari Negeri
Belanda tentu memerlukan biaya yang besar. Untuk itu pemerintah mulai menyelengarakan pendidikan untuk bumiputra namun pada awalnya hanya untuk anak-anak dari kalangan atas. Baru pada tahun 1848, melalui surat keputusan Raja Belanda No. 95 tanggal 30 September 1848 yang isinya memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menyediakan dana f. 25.000,- per tahun guna pendirian sekolah-sekolah bumiputra di Pulau Jawa. Berdasarkan keputusan ini maka didirikan 20 sekolah dasar negeri di setiap ibukota keresidenan (Mestoko, 1986: 92-93, Lubis et al., 20032: 10-11, Nasution, 2008: 11).
Pada tahun 1893 terjadi reorganisasi pada pendidikan dasar yang berazaskan pada Keputusan Raja tanggal 28 September 1892 yang dimuat di Lembaran Negara (staatsblad) No. 125 tahun 1893 yaitu tentang pembagian sekolah dasar bumiputra menjadi dua kategori yaitu Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse) dan Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse). Sekolah kelas satu untuk anak-anak bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan orang-orang bumiputra yang terhormat. Sekolah kelas dua untuk anak-anak bumiputra pada umumnya (Mestoko, 1986: 93, Lubis et al., 20032: 13-14).
Kegiatan dan jenis pendidikan bumiputra makin bertambah dengan pembukaan Sekolah Pendidikan Calon Guru (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) yang pertama di Surakarta tahun 1852, kemudian di Bukittinggi tahun 1856, Tapanuli tahun 1864, Bandung tahun 1866, Tondano tahun 1873, Ambon tahun 1874, Probolinggo tahun 1875, Banjarmasin tahun 1875 dan Makassar tahun 1876 (Mestoko, 1986: 96). Selanjutnya pembukaan Hoofdenschool yaitu sekolah khusus untuk kedudukan pamong atau calon pegawai. Sekolah ini didirikan di Kota Bandung berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 30 Maret 1878 No. 21. Kemudian pada tahun 1900 sekolah ini  diubah  menjadi Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 19 Agustus 1900 No. 11 (Niel, 1984: 44-45, 70, Lubis, et al., 20032: 25). Berangsur-angsur penduduk bumiputra, Cina, dan golongan lainnya diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan Barat dan merupakan dasar untuk mendapatkan pendidikan dari sekolah dasar hingga pendidikan  tinggi secara barat (Mestoko, 1986: 103).
Selanjutnya, memasuki abad ke-20 pendidikan semakin berkembang. Hal ini dipengaruhi oleh adanya Politik Etis yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda sehingga tampak kemajuan pesat dalam pendidikan. Pertumbuhan sekolah dapat dibedakan menjadi empat kategori sekolah, sebagai berikut:
Sekolah Eropa yang sepenuhnya memakai model sekolah negeri Belanda, tingkatannya antara lain, Europeesche Lagere School (selanjutnya disingkat ELS), Hogere Burger School (selanjutnya disingkat HBS) dilanjutkan ke sekolah tinggi di Negeri Belanda.
Sekolah bagi bumiputra  yang memakai Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Tingkatannya antara lain Hollandsch Inlandsche School (selanjutnya disingkat HIS), dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (selanjutnya disingkat MULO) kemudian ke Algemeene Middelbare School (selanjutnya disingkat AMS) lalu ke sekolah tinggi
Sekolah untuk bumiputra yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa pengantar antara lain Inlandsche School der Tweede Klass, Volksschool (Sekolah Desa), Vervolgschool (Sekolah Lanjutan Volksschool), Schakelschool (Sekolah Penghubung)
Sekolah memakai  sistem pribumi. (Kartodirdjo, 1999: 76). Contohnya sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa, INS Kayu Tanam, dan lain-lainnya.
    Perkembangan pendidikan di daerah Jawa sangat pesat jika dibandingkan dengan daerah di luar Jawa seperti daerah Maluku. Maluku merupakan wilayah yang dicari dan diperebutkan oleh beberapa negara di Eropa antara lain Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Ini disebabkan Maluku memiliki rempah-rempah yang sangat dibutuhkan bangsa Barat pada masa itu. Pada abad ke-17 Maluku dan Maluku Tengah menjadi wilayah yang sangat penting dan menjadi pusat perhatian pada awal masa penjajahan karena eksploitasi rempah-rempah yang berpusat di sana. Namun pada pertengahan abad ke-19 peranan ekonomi di wilayah ini mengalami kemunduran akibat dihapusnya monopoli cengkih pada tahun 1863. Penghapusan monopoli ini karena turunnya harga cengkih di pasaran dunia (Leirissa, et al., 1983: 25). Hal ini menyebabkan beralihnya perhatian pemerintah kolonial ke tempat-tempat lain terutama ke daerah Jawa. Pada saat yang sama dibangun suatu  sistem administrasi pemerintahan yang lebih terpusat dan sistem pendidikan pun mendapat  perhatian  pemerintah (Brugmans, 1938: 133-134)
      Pendidikan di Maluku pada awalnya dikelola oleh pihak Zending. Akan tetapi, pada tahun 1864 terjadi penghapusan peranan Zending. Penghapusan peranan Zending dinyatakan secara formal dalam Peraturan Pemerintah tahun 1871. Pada dasarnya politik pendidikan sejak itu mengeluarkan pengajaran agama dari pendidikan umum (Brugmans, 1938: 159-161). Sejak itu sekolah-sekolah Zending tidak terdapat lagi di Maluku pada awal abad ke-20. Akan tetapi sekolah-sekolah yang ada selama abad ke-19 tidak dapat begitu saja menghilangkan warna yang diperoleh selama masa pembinaan Zending itu. Penghapusan ini disebabkan pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda mulai membangun sistem pendidikan bumiputra (Inlandsche onderwijs) (Leirissa, 1989: 54).  Pertama yang dapat dicatat adalah timbulnya Sekolah Negeri yang sekuler yang corak pendidikannya membebaskan diri dari pengaruh agama khususnya agama Kristen Protestan. Inilah yang disebut pendidikan Barat. Ordonansi April 1874 yang dimuat dalam Staatsblad no. 99 menetapkan bahwa pengajaran dianggap menjadi tanggung jawab penuh pemerintah (Pattikayhatu et al., 1980: 20).
Perkembangan yang khas di Maluku Tengah menyebabkan sistem pendidikan di sana sulit disinkronkan dengan sistem pendidikan yang muncul di Jawa. Baru  pada  awal  abad  ke-20  sistem   pendidikan  di Maluku Tengah dapat disamakan dengan di Jawa. Sistem pendidikan Barat di Maluku mulai dengan dibukanya ELS pada tahun 1817, Ambonsche Burgerschool (selanjutnya disingkat ABS) pada tahun 1869, Kweekschool tahun 1874, School tot Opleiding van Inlandsche Leeraar (selanjutnya disingkat STOVIL) tahun 1885, HIS pada tahun 1919, dan MULO pada tahun 1915. Sekolah-sekolah ini biasanya dikhususkan bagi anak-anak golongan atas, orang-orang kaya, anak-anak pegawai negeri, anak-anak dari keturunan burger, anak-anak dari keluarga-keluarga yang
memakai fam (nama keluarga) Belanda dan anak-anak dari orang gelijkgesteld dan anak-anak Cina dan Arab. Pada sekolah-sekolah ini uang sekolah tidak dipungut dan murid-murid diberi minum dan makan roti pada waktu istirahat. Bagi anak-anak Belanda totok dan anak-anak ambtenaar disediakan Europeesche Lagere School (Pattikayhatu et al., 1980: 27-32). Pendidikan untuk anak-anak bumiputra dari kalangan biasa adalah Volkschool (Sekolah Desa) yang sebelumnya merupakan sekolah-sekolah Zending. Sejak tahun 1893 dinyatakan termasuk kategori De Scholen der Tweede Klasse (Leirissa, 1989: 71).
      Pembentukkan ABS pada tahun 1869 merupakan tonggak penting dalam sejarah pendidikan masyarakat Ambon. Sekolah itu menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Inilah yang merupakan perubahan besar dalam sistem pendidikan di Ambon. ABS dianggap sebagai sekolah yang cukup memadai sehingga di Kota Ambon tidak dibuka sekolah jenis De Scholen der Eerste Klasse bahkan ketika sekolah jenis ini  diganti menjadi HIS pada 1914, di Maluku Tengah tidak dibuka sekolah HIS karena ABS dirasa cukup memadai sebagai lembaga pendidikan untuk kalangan atas dan burger. Memasuki tahun 1919 HIS baru dibuka di Ambon, Saparua, dan Piru (Seram Barat). Sekolah model ABS kemudian berangsur-angsur didirikan juga di tempat-tempat lain, termasuk di Maluku Tengah yaitu di Saparua pada tahun 1911 dibuka Saparoeasche School (Leirissa, 1989: 71). Pada tahun 1934 di Kota Ambon didirikan sebuah sekolah yang bercorak Taman Siswa yaitu Sekolah Balai Pendidikan oleh E.U. Pupella (Pattikayhatu et al., 1980: 27-32).
Sekolah-sekolah yang didirikan ini pun tidak terlalu banyak dan diprioritaskan untuk anak-anak golongan bangsawan dan dalam hal ini di Maluku Tengah yaitu “anak Raja” atau “Patti”, orang kaya dan anak guru serta beberapa anak pegawai (Pattikayhattu, 1978: 17). Masyarakat Maluku yang beragama Islam hampir tidak mendapat kesempatan untuk bersekolah karena semua sekolah pada zaman ini didirikan di negeri-negeri (desa-desa) yang penduduknya beragama Kristen Protestan. Di samping itu, adanya keengganan golongan Islam Maluku sendiri untuk menerima lembaga pendidikan yang didirikan oleh orang-orang swasta kulit putih karena lembaga itu dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama mereka. Mereka melihat lembaga ini sebagai suatu lembaga kafir karena didirikan oleh orang kafir (orang kulit putih yang bukan beragama Islam). Dengan sendirinya menurut anggapan mereka barang siapa yang menyekolahkan anaknya pada lembaga itu adalah orang kafir. Hanya ada beberapa orang golongan bangsawan yang beragama Islam saja yang mau memanfaatkan lembaga ini bagi anak-anak mereka. Mereka lebih cenderung untuk bekerja dalam bidang perdagangan, pertanian, dan lain-lain (Pattikayhattu, 1978: 18-19).
Bagi orang Maluku Tengah kesempatan untuk memperoleh pendidikan ini banyak dimanfaatkan oleh mereka yang beragama Kristen terutama dari kalangan Burger untuk mengubah status mereka. Orang-orang Maluku Kristen pada zaman ini melihat bidang pekerjaan menjadi pegawai pemerintah atau anggota militer Belanda sebagai suatu pekerjaan yang dapat mendatangkan gengsi dan meningkatkan prestise mereka dalam masyarakat. Dengan demikian lambat laun mereka (pemuda) mulai meninggalkan pekerjaan bertani dan berlomba-lomba melamar pekerjaan untuk menjadi militer atau pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah Hindia Belanda. Semua pekerjaan di luar kedua bidang  ini lama kelamaan dilihat sebagai pekerjaan yang hina yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang desa atau oleh orang-orang golongan kebanyakan.
Dengan dijalankannya Politik Etis pada awal abad ke-20 terbukalah peluang untuk pribumi mengenyam pendidikan berorientasi Barat lebih luas karena mulai ada pertambahan dan perbaikan pendidikan untuk orang Indonesia (Niel, 1984: 70, Nasution, 2008: 19-20). Politik Etis yang menurut pemerintah adalah untuk membalas budi kepada tanah jajahan, namun tetap saja perkembangan pendidikan Barat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pihak Belanda akan tenaga kerja. Meskipun demikian, sebagai hasil yang tidak disengaja dari Politik Etis ini timbullah golongan elit baru yaitu kaum inteligensia. Mereka ini sering disebut sebagai kaun intelektual atau juga golongan menengah. Kaum Intelektual ini sangat besar peranannya pada masa pergerakan yaitu sebagai pemimpin nasional yang mengerahkan perlawanan terhadap kolonialisme. Golongan ini  sering bertindak sebagai perintis atau pelopor dalam pelbagai gerakan dan revolusi serta sebagai elite politik. Mereka merupakan golongan berpendidikan Barat dan yang beroposisi terhadap penguasa kolonial (Kartodirdjo, 1983: x-xi).
Akibat adanya pendidikan Barat, di Hindia Belanda muncul golongan berpendidikan. Di antara mereka ini ada yang menjadi wartawan, guru, dokter, pengacara, dan tenaga-tenaga profesional yang bekerja di jawatan atau kantor pemerintah dan swasta. Seiring dengan lahirnya kaum intelektual, lahir organisasi-organisasi pergerakan antara lain Sarekat Islam di Surakarta pada tahun 1911, Indische Partij tahun 1912, Perhimpunan Indonesia tahun 1925, dan Partai Nasional Indonesia di Bandung oleh Soekarno pada tahun 1927 (Lubis, 1998: 50).

Lembaga pendidikan untuk tingkat yang lebih tinggi setelah sekolah menegah di Maluku Tengah tidak ada, hanya terbatas sampai MULO. Bagi mereka yang ingin  melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maka harus melanjutkannya keluar Maluku Tengah. Meraka bisa meneruskan ke Ujungpandang, dan ada pula yang dapat meneruskan sampai perguruan tinggi di Jawa. Golongan intelektual yang berpendidikan akademis ini ada pula yang sekolah di Negeri Belanda.  Pendidikan Barat yang diperoleh oleh masyarakat Maluku Tengah baik yang di Maluku maupun di luar Maluku melahirkan suatu golongan menengah atau kaum intelektual Maluku Tengah yang terdiri dari pegawai, guru, pendeta, dokter, ahli hukum, insinyur, dan lain-lain. Ini merupakan golongan masyarakat yang menentukan perkembangan dalam abad ke-20. Golongan inilah nantinya pada masa pergerakan aktif memperjuangkan nasib Maluku dan Bangsa Indonesia hingga menuju kemerdekaan. Mereka antara lain :
W.K. Tehupeirory, seorang pemuda Ambon yang menamatkan pendidikan di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan kemudian melanjutkan pelajarannya ke sebuah universitas di Negeri Belanda hingga mencapai gelar Europeesche Arts, bersama dengan kakaknya J.E. Tehupeirory, lulus STOVIA pada tanggal 24 November 1902 mendirikan sebuah organisasi yang bernama Ambonsche Studifonds pada 24 September 1909. Organisasi ini diketuai oleh J.A. Soselisa, dengan wakil ketua P. Kuhuwael, bendahara H. Pesulima dan bertindak sebagai penasehat yaitu J.D. Syahaya dan J.M.M. Hetharia.
A.J. Patty, pemuda Ambon yang pernah mengenyam pendidikan di STOVIA, namun ia terpengaruh ideologi yang tergolong radikal maka ia dikeluarkan dari sekolah tersebut. Selanjutnya ia berdiam di Semarang sebagai wartawan. A.J. Patty bersama-sama dengan beberapa tokoh mendirikan Sarekat Ambon pada tanggal 9 Mei 1920. Kaum Intelektual Maluku yang bergabung dalam organisasi ini antara lain J. Kayadu (pendiri Jong Ambon),  J.D. Siahaya, dr. Westplat,  J.D. Samallo, J.M. Leimena, P.R. de Quelyoe, A.E. Kayadu.
J. Latuharhary, seorang ahli hukum yang menamatkan pendidikan hukum di sekolah tinggi hukum di Jakarta kemudian melanjutkan pendidikan di Leiden dan oleh Pemerintah Belanda ditempatkan di Surabaya sejak 1928.  Pada tahun 1929  J. Latuharhary dan J.F. Tuwanakotta melanjutkan perjuangan Sarekat Ambon ketika A.J Patty ditangkap oleh Pemerintah Belanda.
Apituley, menamatkan pendidikan di STOVIA pada tahun 1925. Ia adalah salah seorang pengurus pusat Sarekat Ambon di Jakarta namun ketika pemikirannya tidak sejalan lagi dengan J. Latuharhary maka ia bersama dengan W.K Tehupeirory mendirikan Moluks Politiek Verbond pada tanggal 15 Juli 1929 (Leirissa, 1975: 51-75).
Selain itu, masih banyak lagi intelektual-intelektual dari Maluku di antanya A.M. Sangadji (Sarekat Ambon cabang Surabaya), D. Ajawaila (Sarekat Ambon cabang Ambon), E.U. Pupella (Sarekat Ambon cabang Ambon), Putuhena,  J.H. Tehupeirory,  A.Th. Manusama,  Abdul Sukur, A.E. Kayadu,
J. Tupamahu, (Christellijke Ambons Vlokbond), A. Matulapelwa (Christellijke Ambons Vlokbond), J.L. Matulatuwa, J. Manusama. Dr. Latumeten, J. B. Sitanala, G.A. Siwabessy,  dan lain-lain (Leirissa et al., 1983: 85-102)
      Sejak dekade kedua abad ke-20 kebanyakan orang yang berpendidikan ini berada di luar Maluku. Selain meninggalkan Ambon untuk mencari pekerjaan di Jawa dan lain-lainnya, banyak pula generasi kedua dan ketiga dari orang-orang yang sudah meninggalkan Ambon sejak akhir abad ke-19 untuk melajutkan pendidikan. Kebutuhan akan tenaga-tenaga yang berpendidikan Belanda memang makin lama makin meningkat di luar Maluku. Politik Etis yang membuka pelbagai bidang kedinasan memerlukan pegawai rendah dan menengah. Selain itu, pendidikan kejuruan juga membuka kesempatan yang banyak bagi mereka yang meninggalkan kampung-halamannya. Orang-orang inilah yang merasakan kebutuhan untuk memperbaiki nasib (Leirissa et al., 1983: 85).
Bertolak dari uraian di atas, maka merupakan suatu hal yang menarik untuk meneliti perkembangan pendidikan di Maluku Tengah dan reaksi masyarakat terhadap pendidikan serta pengaruh pendidikan terhadap munculnya golongan intelektual dan pergerakannya pada tahun 1869-1942  karena juga hampir tidak ditemukan tulisan secara komprehensif seperti pokok penelitian di atas. Alasan pemilihan tahun 1869 sebagai awal penelitian karena pada tahun tersebut berdiri sekolah yang sudah terlepas dari unsur agama yaitu Ambonsche Burgerschool, sedangkan penelitian ini diakhiri 1942 karena pada tahun tersebut berakhir pemerintahan kolonial di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini akan diberi judul “Dinamika Pendidikan di Maluku Tengah : Munculnya Kaum Intelektual dan Pergerakannya  (1869-1942).”

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah pokok yang akan diteliti adalah bagaimana pendidikan di Maluku Tengah mempengaruhi munculnya kaum intelektual serta pergerakannya (1869-1942)? Dari pokok masalah tersebut, penulis menjabarkan beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana perkembangan lembaga pendidikan di Maluku Tengah?
Bagaimanakah reaksi masyarakat Maluku Tengah terhadap munculnya lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial?
Bagaimana dampak pendidikan terhadap pembentukan kaum intelektual Maluku Tengah dan pergerakan mereka?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan sistem pendidikan dan reaksi masyarakat terhadap pendidikan serta pengaruh pendidikan terhadap munculnya golongan intelektual dan pergerakannya tahun 1869-1942. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain :
Menggambarkan dan menjelaskan perkembangan lembaga pendidikan di Maluku Tengah.
Menjelaskan reaksi masyarakat Maluku Tengah terhadap munculnya lembaga pendidikan  yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial.
Menjelaskan dampak pendidikan terhadap pembentukan kaum intelektual Maluku dan pergerakan mereka.
1.4 Kegunaan Penelitian
      Kegunaan penelitian ini  akan mencakup dua aspek yaitu aspek teoretis dan aspek praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan  dapat memperbanyak penulisan sejarah Indonesia khususnya penulisan sejarah pendidikan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna untuk lembaga pendidikan di Maluku dalam melihat kondisi pendidikan sekarang ini dengan melihat keadaan sebelumnya agar dapat mengambil kebijakan yang lebih baik untuk mengembangkan pendidikan di Maluku. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap sejarah pendidikan kolonial di Maluku abad ke-19 dan abad ke-20 sehingga diharapkan berguna untuk dosen, mahasiswa, dan peminat sejarah untuk digunakan sebagai referensi.

1.5 Tinjauan Pustaka
Tulisan tentang Maluku Tengah sudah banyak ditulis orang namun penelitian tentang pendidikan yang membawa pengaruh terhadap munculnya kaum intelektual dan pergerakan mereka, sejauh pengetahuan penulis belum diteliti secara komprehensif. Sejarah tentang Maluku dari berbagai aspek sudah ditulis oleh beberapa penulis atau peneliti, baik dalam bentuk artikel ilmiah atau buku. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Karya I.J. Brugmans yang diterbitkan pada 1938 dengan judul Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie. Karya yang ditulis dengan Bahasa Belanda ini melihat pendidikan di Hindia Belanda secara keseluruhan walaupun ada menyinggung tentang pendidikan di Maluku tapi tidak secara rinci melihat pertumbuhan dan perkembangan sekolah-sekolah yang ada di Maluku.
Pada tahun 1986 diterbitkan buku oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Balai Pustaka yang ditulis oleh Sumarsono Mestoko dkk, dengan judul Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman. Di dalamnya dibahas pendidikan di Indonesia sebelum kedatangan Belanda hingga zaman kemerdekaan. Di sini digambarkan pendidikan di Indonesia secara sistematis  dari zaman ke zaman sehingga kelihatan perbedaan yang jelas. Karena mengkaji  pendidikan di Indonesia, secara otomatis melihat secara umum bagaimana proses perkembangan sekolah-sekolah di Indonesia dan lebih banyak mengkaji kondisi pendidikan daerah Jawa sehingga Maluku dan daerah lainnya di luar Jawa hanya disinggung sedikit. Pendidikan di Maluku yang dibahas juga lebih banyak pada masa VOC, namun pendidikan di Maluku pada pertengahan abad ke-19 tidak digambarkan sama sekali.
      Karya J.A. Pattikayhatu dkk, yang berjudul Sejarah Pendidikan Daerah Maluku ini merupakan hasil proyek penelitian yang diadakan oleh Proyek Inventarisasi dan Dokumen Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tulisan ini menggambarkan pendidikan di Maluku sejak zaman tradisional hingga zaman kemerdekaan Indonesia. Hanya saja pendidikan di Maluku digambarkan secara umum sehingga tidak didapatkan informasi secara rinci tentang perkembangan lembaga pendidikan di Maluku Tengah. Penjelasan tentang pendidikan di Maluku pada pertengahan abad ke-19 hingga tahun 1942 juga tidak tergambarkan secara menyeluruh dan terperinci.
Disertasi yang ditulis oleh Cornelis Adolf Alyona yang berjudul Pendidikan Barat di Maluku Tengah 1885-1942: Timbulnya Dualisme dalam Sistem Pendidikan. Pada bagian awal kajiannya  dirinci  pertumbuhan pendidikan Barat di Maluku mulai abad ke-17 hingga abad ke-20 kemudian diperlihatkan pula kebijakan pemerintah di bidang pendidikan 1885-1942 dan terakhir menjelaskan tentang jenis-jenis sekolahnya. Dalam karya ini hanya dibahas pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikannya, tidak dibahas bagaimana reaksi masyarakat terhadap sekolah tersebut dan tidak juga dibahas pengaruh pendidikan terhadap masyarakat Maluku Tengah seperti yang akan diteliti oleh penulis. Namun demikian, karya ini sangat berharga sebagai sumber penelitian untuk tesis yang akan penulis susun.
Karya Robert van Niel yang berjudul Munculnya Elit Modern Indonesia mengkaji bagaimana terjadi perubahan elit-elit Indonesia sejak munculnya Politik Etis pada awal abad ke-20. Van Niel menjelaskan perubahan dari elit yang bersifat tradisional yang berdasarkan keturunan menjadi elit modern yang disebabkan oleh faktor pendidikan. Ia juga menjelaskan bahwa elit baru ini dengan intelektualitas yang mereka miliki adalah hasil mengenyam pendidikan Barat, yang dapat mengerakkan golongan elit untuk melakukan pergerakan dengan membentuk organisasi-organisasi, baik organisasi sosial maupun politik di antaranya Boedi Oetomo, Indische Partij, Sarekat Islam dan lain-lainnya. Robert van Niel dalam karyanya mengkaji elit modern yang bergerak di Jawa tanpa menyingung bagaimana yang ada di daerah-daerah lain dan juga tidak mengkaji golongan elit yang berasal dari Maluku serta organisasi yang didirikan oleh intelektual Maluku. Namun demikian karya ini akan memberikan sumbangan dalam penelitian nantinya dalam mengkaji bagaimana model pergerakan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Sebuah buku yang berjudul Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia yang ditulis oleh Richard Z. Leirissa diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1975. Secara umum tulisan ini menggambarkan perjuangan masyarakat Maluku melawan penjajahan, perjuangan masa kemerdekaan, dan pergolakan RMS. Pada Bab II  diuraikan  tentang pergerakan nasional yang dilakukan oleh orang-orang Maluku. Akan tetapi, pergerakan dan kaum intelektualnya tidak semua diuraikan secara rinci, yang dirinci hanya tentang Sarekat Ambon,  organisasi-organisasi pergerakan lainnya hanya selayang pandang. Berbeda dengan penelitian ini yang ingin mengkaji kaum intelektual dan pergerakannya secara komprehensif.

1.6 Metode Penelitian
      Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yaitu suatu penelitian yang berhubungan dengan peristiwa masa lampau sehingga prosedur penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tujuannya adalah untuk mencoba melakukan rekonstruksi peristiwa masa lalu (Gottschalk, 1986: 32, Sjamsuddin,  2007: 85-87, Herlina, 2008: 15). Heuristik adalah tahapan atau kegiatan menemukan dan menghimpun sumber, informasi, dan jejak masa lalu (Gottschalk, 1986: 32, Herlina, 2008: 15). Heuristik dilakukan mendasarkan pada sumber primer dan sumber sekunder (Herlina, 2008: 17-24). Sumber-sumber ini nantinya akan dicari di Arsip Daerah Maluku di Ambon, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, Perpustakaan Daerah Maluku Di Ambon, dan Perpustakaan Nasional di Jakarta. Sumber-sumber primer yang akan dilacak adalah dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Sumber-sumber sekunder berupa karya-karya tulis yang mengkaji tema ini baik berupa buku, artikel majalah, surat kabar dan lain sebagainya.
Tahapan selanjutnya adalah kritik. Kritik dilakukan untuk menuju ke arah keabsahan sumber. Baik itu untuk meneliti otentisitas sumber, atau keaslian sumber, yang disebut kritik eksternal, dan meneliti kredibilitas sumber, atau kritik internal. Kritik eksternal dilakukan dengan cara memberikan penilaian terhadap kondisi fisik sumber tersebut, seperti jenis kertas yang dipakai, tinta, tulisan, huruf, watermark, stempel, dan sebagainya, Kritik internal ditempuh dengan cara melakulan penilaian instrinsik terhadap sumber tersebut, misalnya menilai penulis atau penyusun sumber tersebut. Selain itu, akan dilakukan juga proses koroborasi yakni mempertentangkan data yang ada dalam sumber tersebut dengan sumber lainnya yang independen. Dengan proses seperti itu, akan diperoleh sumber yang kredibel atau dapat dipercaya (Herlina, 2008: 24-34).
Tahap ketiga adalah interpretasi yakni proses penafsiran terhadap berbagai fakta yang telah terkumpul dalam tahapan heuristik. Interpretasi ada dua macam, yaitu interpretasi analisis artinya menguraikan fakta dan interpretasi sintesis artinya menyatukan atau menghimpun fakta. Untuk memahami informasi yang terkandung dalam sebuah arsip tidak hanya cukup menginterpretasikan secara verbalistik, melainkan juga dapat dikombinasikan dengan menginterpretasikan fakta tersebut secara teknis, faktual, logis, maupun psikologis. Dengan demikian, interpretasi yang dihasilkan dapat dipahami secara menyeluruh dan mendalam  (Herlina, 2009: 36-39).
Tahapan terakhir adalah historiografi yaitu melakukan proses penulisan masa lampau dengan menyeleksi  fakta-fakta kemudian dirangkaikan secara imajinatif menjadi kisah sejarah yang kronologis (Herlina, 2009: 56-60). Dalam proses penulisan juga terkandung penjelasan atau eksplanasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau (Sjamsuddin, 2008: 190).












BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN TEORETIS

Penulisan sejarah kritis selain harus bersifat diakronis, juga memerlukan interpretasi dan analisis secara sinkronis sehingga menghasilkan eksplanasi sejarah (Historical explanation) yang memadai. Untuk dapat melakukan eksplanasi sejarah ini, ternyata teori sejarah saja tidak mencukupi sehingga membutuhkan teori dan konsep dari ilmu bantu sejarah sebagai sebuah pendekatan (Kartodirdjo,  1993: 8, 57 : Herlina, 2008: 83). Dalam penelitian ini dibutuhkan pendekatan antara lain pendekatan psikologi, pendekatan sosiologi dan pendekatan ilmu politik.

2.1 Pendidikan

Pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang luas dan representatif (mewakili/mencerminkan segala segi), pendidikan ialah ... the total process of developing human abilities and behaviors, drawing on almost all life's experiences  (Seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan)(Syah, 2003: 10).
Menurut Dictionary of Psychology (1972) (dalam Syah, 2003; 11) pendidikan diartikan sebagai The institutional procedures which are employed in accomplishing the development of knowledge, habits, attitudes, etc. Usually the term is applied to formal institution. Jadi, pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung secara informal dan nonformal di samping secara formal seperti di sekolah, madrasah, dan institusi-institusi lainnya.
Dari pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa pendidikan yang berjalan pada masa kolonial hanya merupakan proses mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang menjadi apa yang diinginkan oleh pihak kolonial. Pendidikan zaman kolonial tidak untuk menciptakan manusia agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental dan  untuk membuat orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan untuk menguntungkan pemerintah kolonial.
Randall Collins (dalam Sanderson, 2000: 187-189) mengemukakan tiga tipe dasar pendidikan yang ditemukan di seluruh masyarakat dunia di antaranya:
Pendidikan keterampilan praktis, pendidikan ini dirancang untuk memberikan ketrampilan dan kemampuan teknis tertentu yang dipandang penting dalam melakukan kegiatan-kegiatan pekerjaan dan lain-lain. Pendidikan ini didasarkan pada suatu bentuk pengajaran guru-magang (master-apprentice). Pada hakikatnya jenis pendidikan ini adalah satu-satunya pada masyarakat primitif. Juga dijumpai dalam rnasyarakat agraris (misalnya, para tukang rnengajarkan keterampilan mereka kepada calon-calon baru) dan sampai tingkat tertentu, juga ditemukan pada masyarakat industri modern.
Pendidikan untuk keanggotaan kelompok status. Pendidikan kelompok status dilakukan untuk tujuan simbolisasi dan memperkuat prestise dan hak-hak istimewa (privilege) kelompok elite dalam masyarakat yang memiliki pelapisan sosial. Pada umumnya pendidikan ini  dirancang bukan untuk digunakan dalam pengertian teknis dan sering diserahkan kepada pengetahuan dan diskusi badan-badan pengetahuan esoterik. Pendidikan ini secara luas telah dijumpai dalam masyarakat-masyarakat agraris dan industri.
Pendidikan birokratis, pendidikan ini diciptakan oleh pemerintah untuk melayani satu atau kedua tujuan yaitu sebagai alat seleksi untuk merekrut orang-orang untuk posisi-posisi di pemerintahan, atau sebagai cara mensosialisasikan dan mendisiplinkan massa agar memenangkan tuntutan politik mereka. Menurut Sanderson (2000: 190) tipe pendidikan ini pada umumnya memberi penekanan pada ujian, syarat kehadiran, peringkat, dan derajat. Pendidikan bersifat umum pada berbagai peradaban historis yang besar, khususnya pada peradaban yang mempunyai negara birokrasi yang tersentralisasi. Inti dari sistem pendidikan ini ialah sistem ujian. Ujian-ujian yang ketat harus dilewati agar individu-individu itu dapat masuk ke dalam posisi-posisi penting dalam birokrasi pemerintahan. Semakin tinggi suatu  posisi, semakin rumit rangkaian ujian yang harus ditempuh oleh calon. Biasanya hanya sebagian kecil dari calon-calon sarjana itu yang lulus pada setiap ujian.
Dari ketiga tipe sistem pendidikan di atas maka pendidikan di Maluku Tengah yang diterapkan oleh pemerintah kolonial adalah tipe yang ketiga namun di sini pendidikan birokrasi yang dijalankan untuk pribumi hanya untuk memperoleh tenaga birokrasi rendahan. Untuk memperoleh tenaga dalam posisi tinggi hanya diperuntukkan untuk orang-orang Belanda atau Eropa saja.
Kajian ini salah satunya akan diarahkan pada penulisan sejarah pendidikan. Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu,  mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial (Silver, 1985: 2266 ; Talbot, 1972: 193-210).
2.2 Motivasi

Motivasi diperlukan dalam setiap tindakan demikian juga dalam pendidikan. Tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau tujuan tertentu. Motivasi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan yang akan diraih. Teori motivasi yang sekarang  banyak dianut orang adalah teori kebutuhan. Teori motivasi beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis (Purwanto,1992: 73, 77).
Menurut Abraham Maslow, ada lima tingkatan kebutuhan pokok manusia. Kelima tingkatan ini yang kemudian dijadikan pengertian kunci dalam mempelajari motivasi manusia. Adapun kelima tingkatan pokok tersebut yaitu: Pertama, kebutuhan fisiologis yang merupakan kebutuhan dasar, yang bersifat primer dan vital, serta menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar dari organisme manusia seperti kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan, kesehatan fisik, kebutuhan seks, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan rasa aman dan perlindungan (safety and security) seperti terjamin keamanannya, terlindung dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, dan perlakuan tidak adil. Ketiga, kebutuhan sosial (social needs) yang meliputi antara lain kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia kawan, kerjasama. Keempat, kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), termasuk kebutuhan dihargai karena prestasi, kemampuan, kedudukan atau status dan pangkat. Kelima, kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization) seperti antara lain kebutuhan mempertinggi potensi-potensi yang dimiliki, pengembangan diri secara maksimum, kreatifitas, dan ekspresi diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan tingkat (Purwanto, 1992: 77-78)
Dengan demikian maka pendidikan yang diikuti oleh masyarakat Maluku Tengah jika dilihat dari motivasi manusia dalam melakukan tindakan adalah kebutuhan  penghargaan  atas diri mereka terutama mereka yang berpendidikan Barat,  mereka yang  bekerja di pemerintahan kolonial atau menjadi serdadu Belanda. Bagi Mereka bekerja pada pihak Belanda menaikkan status mereka lebih tinggi dibandingkan dengan bekerja sebagi petani atau nelayan. Bahkan orang Maluku meminta status persamaan kedudukan hukum dengan bangsa Belanda (gelijkgesteld).

2.3 Kaum Intelektual

Akibat adanya pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial adalah munculnya kaum intelektual Indonesia khususnya dengan penelitian ini adalah kaum intelektual Maluku. Kaum intelektual ini menurut Sartono Kartodirdjo sama dengan kaum inteligensia yang termasuk dalam golongan elite baru. Mereka itu terdiri dari kaum intelektual dan militer yang didik secara Barat. (Kartodirdjo, 1983: x).
Harry J. Benda (dalam Kartodirdjo ed., 1983: 154-163) membagi kaum intelektual menjadi dua jenis yaitu intelektual “lama” dan intelektual ”baru”. Golongan intelektual “lama” itu tak seberapa artinya, karena tak ada anggota golongan ini yang termasuk dalam golongan elite baru di negara-negara Timur dewasa ini. Golongan intelektual “lama” itu telah, dan juga masih memainkan peranan politik yang penting. Peranan kaum intelektual “lama” itu hampir tak ada perkecualiannya hanya terbatas pada fungsi tambahan atau pembantu, atau dengan kata lain: mereka itu menjalankan tugas politik yang dibebankan kepada mereka oleh kelas yang berkuasa di dalam masyarakat rnereka, sedangkan kaum intelektual “baru” ini merupakan gejala yang masih baru karena sebagian besar dari mereka itu adalah hasil pendidikan Barat selama beberapa abad yang lalu. Ciri utama  kaum intelektual ”baru” bukan hanya sekedar dapat membaca dan menulis melainkan adanya proses pembaratan. Pembaratan yang berarti berfikir dan bertindak secara Barat. Kebanyakan kaum intelektual “baru” cenderung untuk menentang status quo dari suatu dunia yang baik secara langsung maupun tidak. Dengan demikian, baik feodalisme maupun kolonialisme, baik kekuasaan oleh golongan pribumi maupun kekuasaan oleh orang-orang asing menjadi hal yang ditentang oleh kaum intektual “baru” (Harry J. Benda, dalam Kartodirdjo ed., 1983: 154-163)
Menurut Robert van Niel (Niel, 1984: 12) garis besar perkembangan elit Indonesia adalah bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elite modern yang berorentasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. Ada disebutkan tetang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional dan para intelektual,  tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dibuat adalah antara elite fungsional dan elite politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin, yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang, mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang Indonesia yang terlibat di dalam aktifitas politik untuk berbagai tujuan tapi yang biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagi pembawa perubahan, sedangkan golongan kedua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis (Niel, 1984: 12)
Dari ciri-ciri kaum intelektual menurut Benda dan van Niel yang dijabarkan di atas maka kaum intelektual yang muncul pada masyarakat Maluku adalah intelektual “baru” , golongan elit fungsional maupun elit politik yang keberadaan mereka akibat dari keikutsertaan mereka dalam pendidikan Barat. Pendidikan yang mereka terima mengubah pola pikir yang tradisional ke cara berpikir modern dalam artian kebaratan  sesuai dengan pendidikan Barat yang mereka terima.

2.4 Pergerakan
Penelitian ini akan mengkaji tentang pergerakan kaum intelektual Maluku, untuk itu akan dilihat konsep pergerakan yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1999: 312) pergerakan adalah kebangkitan untuk perjuangan atau perbaikan. Dalam penelitian ini pergerakan yang dimaksudkan adalah pergerakan Indonesia atau pergerakan nasional. Menurut A.K. Pringgodigdo kata pergerakan Indonesia (Pringgodigdo, 1986: viii) adalah meliputi semua macam aksi yang dilakukan dengan organisasi modern ke arah perbaikan hidup untuk bangsa Indonesia, oleh karena tidak puas dengan keadaan masyarakat yang ada. Pergerakan ini tidak hanya gerakan yang menuju ke perbaikan derajat hidup semuanya (aksi politik), tetapi juga mengenai hal yang hanya sebagian saja (seperti hanya perekonomian, hanya kebudayaan, hanya keagamaan, hanya pengajaran, hanya soal kewanitaan, hanya kepemudaan dan sebagainya). Istilah pergerakan ini tidak hanya mengenai pergerakan untuk kepentingan bangsa Indonesia seluruhnya, tetapi juga meliputi gerakan yang hanya oleh sebagian dari bangsa Indonesia saja seperti hanya dari Jawa, dari Sumatera, dari Ambon, dari Minahasa, dari Timur dan lain sebagainya.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1999: 287-230), pergerakan nasional adalah tindakan kelompok atau aktivitas bersama untuk menghadapi kondisi-kondisi hidup dengan jalan mengadakan reaksi yang sesuai dengan posisi kelompok tersebut. Kata “nasional” dipergunakan dengan maksud menunjukkan seluruh aktivitas dari pergerakan di semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama yaitu berjuang melawan kekuasaan kolonial. Pergerakan nasional yang diwujudkan dalam bentuk organisasi-organisasi yang bergerak dalam berbagai bidang di antaranya politik, kultural, ekonomi, dan sosial. Inilah yang disebut dengan diferensiasi Pergerakan Nasional, pergerakan sebagai suatu kesatuan tindakan kelompok yang lahir pada bidang politik, kultural, ekonomi dan sosial yang sifatnya kompleks dan simultan.
Untuk mengkaji pergerakan yang dilakukan oleh kaum intelektual Maluku, konsep-konsep yang dikemukakan di atas sangat cocok. Pergerakan kaum intelektual Maluku adalah pergerakan sebagian bangsa Indonesia yang bergerak di berbagai bidang di antaranya bidang sosial adalah Ambonsche Studifonds, bidang politik adalah Sarekat Ambon, Moluksch Politiek Verbond, bidang ekonomi dan budaya adalah Christellijke Ambons Vlokbond dan Kemadjoean Maloekoe Sedjati.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan Barat yang dinikmati oleh sebagian masyarakat Maluku Tengah melahirkan kaum intelektual, dan pada gilirannya kaum intelektual ini menjadi pelopor dalam pergerakan nasional.















DAFTAR PUSTAKA

Benda, Harry J, 1983. “Kaum Inteligensia Timur sebagai Golongan Elite Politik”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed). Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Brugmans, I.J. 1938. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie. Groningen: J.B. Wolters.

Depdikbud, 1981. Sejarah Daerah Maluku. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdikbud.

Depdikbud, 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djumhur, I dan H. Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: Ilmu.

Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid 5. 1989. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan penerbit Universitas Indonesia.

Herlina, Nina. 2008. Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.

Kartodirdjo, Sartono (ed). 1983. Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama

__________. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Leirissa, R.Z. 1975. Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia. Jakarta: Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

__________. 1983. Sejarah Sosial Di Daerah Maluku. Jakarta: Depdikbud.

__________. 1989 “Midras dan Ambonsche Burgerschool: Dua Bentuk Sekolah yang Bertolak Belakang di Maluku Tengah dalam Masa Penjajahan” dalam Pendidikan sebagai FaktorDinamisasi dan Integrasi social. Jakarta: Depdikbud.

Lubis, Nina Herlina. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda

Lubis, Nina H. et al. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid 2. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

Mestoko, Sumarsono et al. 1983. Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman. Depdikbud Jakarta: Balai Pustaka.

Monografi Daerah Maluku. Depdikbud: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan

Nasution, S. 2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Niel, Robert van, 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Pattikayhattu, Jhon A. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Maluku Jakarta: P3KD Depdikbud
Pattikayhatu, Jhon A. et al. 1980. Sejarah Pendidikan Daerah Maluku. Depdikbud. Proyek IDKD

Pringgodigdo, A.K. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat

Purwanto, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sanderson, Stepehen K. 2000. Makro Sosiologi sebuah Pendekatan terhadap Realitas sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Silver, H. 1985. "Historiography of Education", dalarn The International Encyclopedia of Education.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sudirman N, et al. 1990. Ilmu pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Talbott, John E. 1972. "Education in Intellectual and Social History", dalam Felix Gilbert & Stephen R. Graubard, ed. Historical Studies Today. New York: W.W.



Lampiran 1
KERANGKA SEMANTARA (OUTLINE) TESIS
DINAMIKA PENDIDIKAN DI MALUKU TENGAH
Munculnya Kaum Intelektual dan Pergerakannya
(1869-1942)


BAB I     PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Rumusan Masalah
Maksud dan Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Tinjauan Pustaka
Metode Penelitian
Kerangka Pemikiran Teoretis
Sistematika Penulisan

BAB II   PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI MALUKU TENGAH
Maluku Tengah dalam Lintasan Sejarah
Pendidikan di Maluku pada Zaman VOC
Pendidikan di Maluku pada Awal Abad ke-19
Pendidikan Barat di Maluku Tengah  1869-1942

BAB III  REAKSI MASYARAKAT MALUKU TENGAH TERHADAP PENDIDIKAN
Reaksi dari Masyarakat Golongan Burger
Reaksi dari Masyarakat Kalangan Atas
Reaksi dari Masyarakat Pedesaan (Kalangan bawah)
           
BAB IV DAMPAK PENDIDIKAN TERHADAP MASYARAKAT  MALUKU              
4.1  Munculnya Kaum Intelektual Maluku
4.2  Pergerakan Kaum Intelektual Maluku
4.2.1 Organisasi Sosial
4.2.2 Organisasi Politik
4.2.3 Organisasi Kultural
4.2.4 Organisasi Ekonomi

BAB V    SIMPULAN
DAFTAR SUMBER
LAMPIRAN



Lampiran 2
Peta Kepulauan Maluku

Sumber :  Diakses dari http://sbelen.wordpress.com/2008.../page/2/ , tanggal 29 Januari 2010, Pukul 15.55 WIB.





Lampiran 3
Peta Propinsi Maluku




Sumber : Diakses dari http://www.jakarta.go.id/maluku/...eta.html , Tanggal 29 Januari 2010, pukul 16.05 WIB






Lampiran 4
Lokasi Penelitian Daerah Maluku Bagian Tengah




     











Sumber : Diakses dari http://maluku-jateng.blogspot.com/_Wh8Xl4ldQaw/S...ive.html
   Tanggal 29 Januari 2010, Pukul 16.30










Lampiran 5

Peta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Uliasse Tahun 1941









































Sumber :  Drs. J.R van Diessen, Prof. DR. F.J. Ormeling. Grote Atlas van  Nederlands Oost-Indie. Penerbit Asia Maior, 2004




Tidak ada komentar:

Posting Komentar