Minggu, 13 Agustus 2017

Proposalku

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Perpindahan yang masih dalam suatu negara disebut migrasi nasional. Perpindahan dari suatu negara ke negara lain disebut migrasi internasional.

Ada migrasi yang bersifat sementara dan ada yang menetap. Migrasi sementara terjadi jika penduduk tinggal di daerah atau negara baru hanya sementara. kurang dari enam bulan. Sedangkan migrasi menetap terjadi jika penduduk tinggal di daerah yang baru sekurang-kurangnya enam bulan.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap migrasi penduduk dibedakan menjadi faktor pendorong dan faktor penarik.

1. Faktor Pendorong
Faktor pendorong adalah faktor yang mendorong orang berkeinginan migrasi meninggalkan tempat asalnya. Faktor-faktor tersebut antara lain :

a.         Sempitnya lapangan kerja dan kemiskinan.
Jika lapangan kerja sempit dan hidup miskin, penduduk cenderung pergi meninggalkan daerahnya.

b.        Keadaan politik yang tidak aman atau peperangan.
Jika keadaan daerah tidak aman, penduduk cenderung pergi meninggalkan daerahnya.

c.         Fasilitas hidup di daerah asal kurang memadai.

Contohnya seorang yang ingin belajar di universitas terpaksa harus pergi ke kota lain karena di kotanya tidak ada universitas yang dimaksud.
a.         Terjadinya bencana alam yang sulit diatasi.
Penduduk yang tinggal di daerah yang selalu terlanda banjir, misalnya. Terpaksa pindah ke daerah Iain.

b.        Daerah asalnya dijadikan proyek pembangunan.
Penduduk terpaksa harus pindah karena daerahnya dijadikan proyek pembangunan, misalnya, pembangunan waduk.

2. Faktor Penarik

Faktor penarik adalah faktor yang menyebabkan orang tertarik untuk migrasi ke daerah lain. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.

a.         Banyak tersedia lapangan kerja dan untuk berusaha.
Jika lapangan kerja terbuka di suatu daerah, penduduk cenderung ingin datang ke daerah itu. Demikian juga jika kesempatan untuk berusaha mudah didapat, penduduk cenderung ingin datang untuk mengadu nasib ke daerah itu.

b.        Upah tenaga kerja yang lebih tinggi.
Jika upah tenaga kerja di suatu daerah tinggi, penduduk cenderung ingin pergi ke daerah itu untuk memperbaiki hidupnya/ekonominya.

c.         Tersedianya fasilitas hidup yang memadai.
Jika suatu daerah mempunyai fasilitas hidup lengkap, orang ingin pindah ke daerah itu. Yang termasuk fasilitas hidup, antara lain pusat pendidikan, kesehatan, pusat belanja, rekreasi, dan transportasi.

d.        Keadaan daerah aman, tenteram, dan tidak bising.
Jika di daerah tertentu keadaannya aman, tenteram, tidak bising, dan udaranya bersih, penduduk cenderung ingin pergi ke daerah itu. Misalnya, penduduk yang berdiam di pusat kota yang terlalu bising, biasanya ingin pergi ke pinggiran kota yang suasananya lebih tenang dan udaranya lebih bersih.
Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi Tenggara Seperti di Maluku UtaraKalimantan TimurMaluku, dan Papua.
Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara diantaranya Kota BaubauKabupaten ButonKabupaten Buton SelatanKabupaten Buton TengahKabupaten Buton UtaraKabupaten WakatobiKabupaten BombanaKabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat.
Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi.
Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya.
Dalam Riwayat H. J. Van Den Berg, ia menuliskan antara lain:
Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara kertanagara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu mendarat di daerah muara sungai Jambi dan: rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah dapat diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. Didirikanlah kembali kerjaan Melayu lama didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Raja Melayu dijadikan Raja takluk kepada Baginda Kertanagara. Kerajaan Melayu menjadi penting kedudukannya, sehingga dalam abad ke 14 seluruh Sumatera kerapkali disebut juga melayu.
Suatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah jambi, atas perintah Kertanagara diangkut ke melayu dalam tahun 1286. Maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu kerajaan Jawa di Sumatera tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu. Kerajaan Jawa yang di Sumatera itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya. Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu.
Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Dibagian Utara Semenanjung Malaka. Sebagian dari daerah Sriwijaya telah direbut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh pun telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Kesultanan Samudra Pasai. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia). Perhubungannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang terletak di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari, yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula dalam zaman itu dan telah menjadi bagian kerjaan Singosari.
Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya, Ia mengambil kesempatan untuk meninggalkan kerajannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan Untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Pulau Buton.
Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak pula pada suatu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.
Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja tobo-Tobo, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau di sekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa, pertanda kebesarannya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya.
Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “sula” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari.
Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai Rajanya yang pertama Ratu I Wa Kaa Kaa.
Di tempat pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa.Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keamanan dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”.
Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim.
Karena di tempat yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.
Diriwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas hutan belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau. Terlebih di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura” Rahantulu – Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa. Lelemangura bahasa Wolio terdiri dari anak kata “lele” dan “mangura”. Lele berarti tetap dan mangura mudah. Ini mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena ditemukan dan dianggap sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu menganga dan hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya”. Tujuan hakekatnya supaya tetap diingat bahwa Raja adalah “anak” dari Betoambari Bontona Peropa dan Sangariarana Bontona Baluwu Siolimbona pada keseluruhannya
Bukit inilah yang kemudian masyur dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang teman dari Sipanjonga yang bernama Sijawangkati mendapatkan enau dan dengan diam-diam ia menyadap enau itu. Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkungeangia datang menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah di sedap orang yang tidak diketahuninya. Timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan batang kayu itu, timbul dalam pemikirannya betapa besar dan kuat orang yang memotong kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu, hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas bekas potongan batang kayu itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan manusia biasa.
Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah perkelahian yang sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada akhirnya keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam alam kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian sijawangkai Dungkusangia tersebut maka negeri tobe-tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak negeri tobe-Tobe itu dari tempat tinggal Sipanjonga +7 KM.
Dapat dijelaskan disini bahwa Dungkusangia dimaksudkan menurut keterangan leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku silsilah bangsawan Buton dikatakan asal “fari” asal “peri”. Menurut Pak La Hude (Sejarawan) dikatakan orangnya amat putih, sama halnya dengan putihnya isi kelapa yang dimakan fari (binatang semacam serangga).
Berdasarkan uaraian di atas penulis berminat untuk meneliti permasalahan tersabut dengan judul Awal Mula Datangnya Suku Buton Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa Di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Barat Kabupaten Seram Bagian Barat.
2. Masalah Penelitian
Untuk lebih terarah dan agar pembahasan ini tidak terlalu luas, maka penelitian ini perlu diberikan batasan dalam penulisannya, adapun pembatasan dalam penelitian ini yaitu:”Awal Mula Datangnya Suku Buton Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa Di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Barat Kabupaten Seram Bagian Barat’’ dilihat dari sisi awal kedatangannya dan perkembangannya dari masa ke masa.
3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut:
3.1 Untuk mengetahui Awal Mula Datangnya Suku Buton Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa Di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Barat Kabupaten Seram Bagian Barat.
3.2  Untuk mengetahui perkembangannya dari masa ke masa.
4.  Manfaat Penelitian
4.1  Bagi peneliti, menambah pengetahuan dan wawasan tentang Awal Mula Datangnya Suku Buton Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa Di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Barat Kabupaten Seram Bagian Barat
4.2  Diharapkan hasil penelitian ini menjadi refrensi bagi peneliti yang akan datang.
4.3  Menembahkan wawasan baru tentang Awal Mula Datangnya Suku Buton Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa Di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Barat Kabupaten Seram Bagian Barat.

5. Tinjauan Pustaka
5.1 Perpindahan Penduduk Atau Migrasi

Menurut pengamatan para peneliti bahwa migrasi bersifat selektif. Ada beberapa cirri-ciri yang membedakan migran dan non migran, terutama yang menyangkut karakteristik umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan jenis pekerjaan. (Ade Handayani, 2007:20).

Pada umumnya dikalangan migran terdapat relatif lebih sedikit penduduk usia anak-anak. Ini terlihat dari konsentrasi migran, yang umumnya mengelompokkan pada migrant umur 20-39 tahun, sedangkan golongan bukan migran mengelompokkan pada golongan 0-19 tahun (Sunarto Hs, 1984). Penduduk laki-laki lebih banyak melakukan perpindahan di banding penduduk perempuan. Namun proporsi wanita mulai meningkat. Penelitian di Amerika Latin (Todaro, 1983) menunjukkan bahwa dewasa ini perempuan merupakan mayoritas dalam arus migrasi lebih jauh, dikemukakan bahwa rata-rata umur migran perempuan lebih rendah dari pada umur migran laki-laki. Menurut Sunarto HS (1984) bahwa: “perbedaan antara migrant dengan non migrant juga terlihat dalam struktur jenis pekerjaan mereka, konsentrasi jenis pekerjaan mereka. Konsentrasi jenis pekerjaan non migran adalah pertanian, sedangkan pekerjaan migran mulai menyebar ke sektor lain di luar petanian” (La Ode Syarifuddin, 1985:4 )

5.2  Suku Buton
Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang berada wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-daerah tersebut, kini secara teritorial telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Muna.

Beberapa pendapat menyatakan bahwa nenek moyang dari orang-orang Buton adalah “imigran” yang datang dari wilayah Johor sekitar abad ke-15 Masehi yang kemudian mendirikan kerajaan Buton.

Pada tahun 1960, dengan mangkatnya sultan yang terakhir, kesultanan Buton konon “dibubarkan” tetapi tradisi-tradisi istana itu telah melekat erat pada orang-orang yang mendiami wilayah tersebut.

Mereka juga memiliki mata uang yang disebut uang Kampua yang terbuat dari kain tenun. Merupakan satu-satunya mata uang yang pernah beredar di Indonesia. Berdasarkan tradisi cerita rakyat Buton, Kampua konon pertama kali diperkenalkan oleh Ratu kerajaan Buton bernama Bulawambona yang memerintah sekitar abad ke-14 Masehi.

Karakter dari suku Buton adalah pelaut, hampir sama dengan suku-suku yang berada di kepulauan Nusantara. Suku Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Sebagian besar orang-orang Buton bermata pencaharian sebagai pelaut dan nelayan. Perairan di wilayah pulau Buton dan di daerah Mina diberkati dengan hasil ikan tuna yang melimpah. Usaha-usaha lain dalam memenuhi kebutuhan hidup dari orang Buton juga berasa dari kegiatan pertanian dan perkebunan.

Sejumlah kearifan dari tradisi yang ada dalam masyarakat Buton adalah kangkiloyang merupakan modal sosial budaya Suku Buton untuk mewujudkan keselarasan dan keharmonisan hidup mereka. Kearifan itu telah membentuk karakter dari prilaku masyarakat orang Buton yang sesuai dengan nilai, etika, dan juga moral yang telah tertanam sejak lama dalam tradisi mereka

5.3 Dusun Tapinalu

Wilayah pemukiman penduduk orang Buton yang bernama Dusun Tapinalu merupakan salah satu kampung diantara puluhan kampung-kampung orang Buton yang terletak di daerah Semenanjung Seram Barat, tepatnya berada di pesisir pantai Hoamual Barat. Termasuk salah satu dusun Buton petuanan, Desa Luhu, dalam wilayah pemerintahan daerah admistrasi Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Provinsi Maluku. Terkait sejarah kedatangan orang Buton di Dusun Tapinalu, menurut tradisi lisan masyarakat setempat, dapat dijelaskan berdasarkan fase (gelombang) kedatangan mereka. Namun untuk menganalisi itu, harus diliahat pual apa yang menjadi factor pendorong dan penarik hingga orang Buton bisa bertahan hingga saat ini. Berikut ulasanya sesuai dengan tradisi lisan yang disampaikan informan yang berasal dari masyarakat Tapinalu kepada penulis.
6. Prosedur Penelitian
6.1 Metode Penelitian

Metode itu sendri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Metode disini dapat dibedakan dari metodologi adalah Sicience of Methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Secara umum metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan Menurut Abdulrahman, Apa bila tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-pristiwa masa lampau maka metode yang digunakan adalah metode histiris. Metode historis itu bertumpun pada empat langkah kegiatan: Heuristik, kritik, Interprstasi, dan Histiografi. (Dudung Abdulrahman: 2007: 53)
Bedasarkan uraian-uraian diatas agar dalam penulisan penelitian lebih ilmiah, data, tujuan, dan kegunaannya. Penulis menggunakan metode historis (Sejarah), yang memiliki empat langkah, Heuristik, Kritik, Interprestasi, dan Histiografi.

6.2Teknik Pengumpulan Data

Menurut G.J Renier (1997:113) Heuristik adalah suatu tekhnik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, mengemukakan, menangani, dan memperinci, bibliografi,ataumengklarifasikan dan merawat  catatan catatan (Dudung Abdurahman,1999: 55).

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode interview atau wawancara. Interview di lakukan dengan cara mewawancarai langsung sumber atau pelaku sejarah yang berkaitan dengan hal tersebut.Selanjutnya membuat tulisan dengan sumber yang dikumpulkan.

Untuk mendapatkan data yang relevan tentang Awal Mula Datangnya Suku Buton Dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa Di Dusun Tapinalu Kecamatan Huamual Barat Kabupaten Seram Bagian Barat. Maka peneliti mencari data melalui para pelaku sejarah dan artikel yang ada di internet terkait dengan masalah yang diteliti.

6.3. Teknis Pengumpulan Data

Tekhnik analisis data dalam penelitian ini bersifat analisis data kualitatif. Teknik analisis data kualitatif adalah analisis data yang bersifat menerangkan dan bukan melalui angka angka bentuknya berupa tulisan yang dikritisi oleh peneliti dan dapat  ditangkap makna tersirat dari benda atau buku buku atau dokumen.

Dalam analisis kualitatif peneliti tidak menggunakan sampel,populasi dan variabel karena bahan yang diteliti bersifat tulisan dan menggunakan metode yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Kajian pustaka atau landasan teori digunakan sebagai pemandu agar peneliti dapat meneliti sesuai fakta yang ada di lapangan. Di dalam menganalisis sumber sejarah, peneliti menguji kebenaran atau kesahihan sumber, dan juga bahan bahan dari sumber sejarah untuk dikelompokan dalam penulisan Awal Mula Datangnya Suku Buton. Melakukan pengujian atas asli tidaknya sumber berarti menyeleksi segi segi fisik dari sumber yang ditenukan (Dudung Abdurahman,1999: 59).

7. Interprestasi

Tahap selanjutnya adalah interprestasi, yaitu berupa analisis (menguraikan) dan sintensis (menyatukan) fakta-fakta sejarah. Hal ini dilakukan agar fakta-fakta yang tampaknya terlepas antara satu sama lain bisa menjadi satu hubungan yang saling berkaitan. Dengan demikian dapat dikatakan sebagai proses memeknain fakta. Pada tahap analisis, peneliti menguraikan sedetail mungkin ketiga fakta (mentifact, socifact, dan artifact) dari berbagai sumber atau data sehingga unsur-unsur kecil dalam fakta tersebut menampakkan koherensinya. Penafsiran dalam metode sejarah menimbulkan subjektivitas sejarah, sangat sukar di hindari, karena di tafsikan oleh sejarawan (si subjek), sedangkan yang objektif adalah fakta. Penafsiran model sejarah tersebut dapat di terapkan pada ilmu antropologi, seni pertunjukan, studi agama, fiologi, arkeologi, dan ilmu sastra. (Sugeng Priyadi :2012 :76)

8. Historiografi

Fase terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah hendaknya memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase perencanaan), penyajian historiografi meliputi pengantar, hasil penelitian, simpulan. Penulisan sejarah sebagai laporan seringkali di sebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodesasi, serialisasi, dan kausalitas, sedangkan pada penelitian antropologi tidak boleh mengabaikan aspek holistik (menyeluruh). (Sugeng Priyadi :2012 :79)
Historiografi adalah cara penulisan,  pemaparan, atau memberikan laporan dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga penulis sejarah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian yang sudah dilakukan dari awal penelitian sampai selesai penelitian (Dudung Abdurahman,1999: 67).

Sedangkan pengertian lain dari historiografi adalah suatu kegiatanintelektual untuk memahami sejarah (Paul Veyne,1971:71) (Sjamsudin,2012: 121). Hal itu menjurus bahwa historiografi adalah proses terakhir dari metode historis. Dalam tahap ini peneliti mulai menulis secara kritis supaya dapat dipertanggung jawabkan faktanya.

Historiografi adalah bagian inti dari suatu penelitian. Didalamnya memuat bab bab yang berisi uraian serta pembahasan masalah yang sedang diteliti. Dalam bab bab ditunjukan kemampuan peneliti dalam mengkaji serta menyajikan data dari sumber yang diperoleh mengenai sumbangan pemikiran politik Mohamad Natsir dalam pembentukan zaken kabinet tahun 1950-1951 (Dudung Abdurahman,1999: 69).

Adapun bagian kesimpulannya adalah mengemukakan generalisasidari yang telah diuaraikan. Simpulan merupakan hasil dari analisis serta fakta sejarah dari masalah yang diteliti.  Setelah semua itu tercapai akan jadi bahan penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan penulisaanya (Dudung Abdurahman,1999: 70).
 BAB II                                                        
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

9.1 Kerangka teori
9.2 Pengertian Migrasi

Migrasi mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia di wilayah maupun di muka bumi ini. Oleh karena itu migrasi juga merupakan usaha manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya, baik secara ekonomi, sosial budaya maupun politik. “Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui politik atau Negara ataupun batas administrativ atau batas bagian dalam suatu Negara”(Rozy Munir. 1981:119). “Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain, baik melewati batas administrativ dari suatu Negara dengan tujuan menetap” (Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1980:37).

Definisi dalam arti luas tentang migrasi ialah penyebaran tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah tindakan itu bersifat sukarela atau terpaksa serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi ke luar negeri. Jadi pindah tempat dari satu apartemen ke apartemen lain hanya dengan melintasi lantai antara kedua ruangan itu dipandang sebagai migrasi, sama seperti perpindahan dari Bombay di India ke Cedar Rapids di Iowa, meskipun tentunya sebab-sebab dan akibat-akibat perpindahan itu sangat berbeda. Tetapi tidak semua macam perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dapat digolongkan ke dalam definisi ini. Yang tidak dapat digolongkan misalnya, pengembaraan orang nomad dan pekerja-pekerja musiman yang tidak lama berdiam di suatu tempat, atau perpindahan sementara, seperti pergi ke daerah pegunungan untuk berlibur selama musim panas. Tanpa mempersoalkan dekat jauhnya perpindahan, mudah atau sulit, setiap migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan, dan bermacam-macam rintangan yang menghambat. Dari beberapa penghalang antara itu, maka faktor jarak perpindahan merupakan faktor yang selalu ada. (Everett S. Lee, 1991:7-8).
Dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa migrasi yaitu perpindahan penduduk yang terjadi dari suatu tempat yang satu ke tempat yang lainnya, baik antar Negara maupun dalam suatu Negara dengan tujuan menetap.

9.3 Teori Migrasi

Ada beberapa teori migrasi yang dikemukakan oleh para ahli antara lain:
1) Everett S. Lee (1976) dalam Ida Bagus Mantra (2003:180) mengemukakan
bahwa:
“Volume migrasi di suatu wilayah berkembang sesuai keanekaragaman daerah di wilayah tersebut. Di daerah asal dan daerah tujuan ada faktorfaktor positif (+), negatif (-), ada pula faktor-faktor netral (0). Faktor positif adalah faktor yang memberikan nilai keuntungan kalau bertempat tinggal di daerah itu, misalnya di daerah tersebut terdapat sekolah, kesempatan kerja, dan iklim yang baik. Faktor negatif adalah faktor yang memberikan nilai negatif pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah dari tempat tersebut karena kebutuhan tertentu tidak terpenuhi. Perbedaan nilai komulatif antara kedua tempat tersebut cenderung menimbulkan arus migrasi penduduk”.

Gambar 1: gambar teori migrasi menurut Lee
Keterangan:
+  : Faktor di mana kebutuhan dapat terpenuhi
-           : Faktor di mana kebutuhan tidak terpenuhi
0  : Faktor netral
Selanjutnya, Lee menambahkan bahwa besar kecilnya arus migrasi juga dipengaruhi oleh rintangan antara, misalnya berupa ongkos pindah yang tinggi, topografi antara daerah asal dengan daerah tujuan berbukit-bukit, dan terbatasnya sarana transportasi atau pajak masuk ke daerah tujuan tinggi. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor individu karena migran tersebutlah yang menilai positif dan negatifnya suatu daerah ini atau tidak. Kalau pindah, daerah mana yang akan dituju. Menurut Lee proses migrasi itu dipengaruhi oleh empat faktor:

1. Faktor individu
2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
3. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan
4. Rintangan antara di daerah asal dengan daerah tujuan

2) Robert Norris (1972) dalam Trisnaningsih (1998:84) bahwa:
“Ada enam faktor yang mempengaruhi seseorang mengambil keputusan untuk bermigrasi yaitu: 1. Faktor Daerah Asal (Origin); 2. Faktor Daerah Tujuan (Destination); 3. Faktor Rintangan Antara (Barriers); 4. Kesempatan Antara (Intervening Opportunities); 5. Migrasi Terpaksa (Forced Migration); 6. Migrasi Kembali (Return Migration)”.

Keterangan:

1) Faktor Daerah Asal (Origin)

Faktor mendasar dalam pendekatan perilaku bermigrasi adalah bentuk keputusan oleh migran potensial secara individu atau anggota keluarga, dalam hal ini pertimbangan di mana akan bermigrasi atau pertimbangan secara geografis antara satu daerah dengan daerah lainnya sebagai hal yang mendasar. Dalam pengambilan keputusan tersebut migran potensial mempertimbangkan antara manfaat yang diperoleh di daerah asal dengan daerah tujuan, mana yang lebih tinggi manfaatnya. Bila nilai kefaedahan lebih tinggi di daerah asal, kemungkinan yang diputuskan adalah tidak jadi bermigrasi.

2) Faktor Daerah Tujuan (Destination)

Cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang daerah tujuan adalah melalui media masa, migran terdahulu dan komunikasi dengan teman atau kerabat di daerah tujuan. Faktor pendorong di daerah asal dan penarik di daerah tujuan bekerja secara bersama sebagai pendorong keinginan migrasi potensial untuk bermigrasi.

3) Faktor Rintangan Antara (Barriers)

Faktor penghalang atau faktor negatif biasanya dirasakan sebagai faktor penghalang migran untuk bermigrasi, seperti faktor penghalang geografis yang terpenting adalah jarak dan topografi daerah.

4) Kesempatan Antara (Intervening Opportunities)

Konsep kesempatan antara digunakan dalam geografi ekonomi untuk menjelaskan tentang sifat komplemen (saling melengkapi) antara dua Rintangan Antara tempat. Jadi interaksi antara dua wilayah hanya terjadi dalam kesempatan antara.

5) Migrasi Terpaksa (Forced Migration)

Hanya sedikit orang yang ingin bermigrasi karena terpaksa, karena mereka tidak mempunyai keputusan untuk pindah atau tidak pindah, biasanya kondisi yang memaksa adalah kondisi fisik dan ekonomi.

6) Migrasi Kembali (Return Migration)

Arus utama dalam migrasi selalu adanya arus balik, apabila seorang migran tidak diterima oleh lingkungannya yang baru mereka mungkin kembali ke daerah asal.

3) Mitchell (1961) dalam Ida Bagus Mantra (2003:184) bahwa:

“Ada beberapa kekuatan (forces) yang menyebabkan orang-orang terikat pada daerah asal, dan ada juga kekuatan yang mendorong orang-orang untuk meninggalkan daerah asal. Kekuatan yang mengikat orang-orang untuk tinggal di daerah asal tersebut dengan kekuatan sentripetal (centripetal forces) dan sebaliknya kekuatan yang mendorong seseorang untuk meninggalkan daerah asal disebut dengan kekuatan sentrifugal (centrifugal forces). Apakah seseorang akan tetap di daerah asal ataukah pergi meninggalkan daerah asal untuk menetap di daerah lain tergantung pada keseimbangan antara dua kekuatan tersebut”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar