Sabtu, 19 Agustus 2017

Studi Perdaban Islam

                 LAPORAN STUDI PERADABAN ISLAM





                                             OLEH :
                                    IWAN MAKATITA
                                          201431274






        FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
             PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
                  UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON
                                                2017

Qasidah
Pengertian Qasidah
Pengertian kasidah yang terdapat dalam khazanah kesusasteraan Indonesia mirip dengan kasidah yang ada dalam sastra Arab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan bahwa kasidah merupakan “bentuk puisi, berasal dari kesusateraan Arab, bersifat pujian (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan (dilagukan)” (Tim Penyusun Kamus, 1988:493). Meskipun demikian, istilah tersebut berbeda dengan istilah yang sama yang terdapat dalam ungkapan “lagu kasidah” yang umumnya berbahasa Indonesia.
Istilah kasidah menurut Ma’luf dan Cowan dalam Syihabuddin (1997:16) berasal dari kata qasada yang salah satu bentuk infinitifnya ialah qasid atau qasidah dan berarti ‘dimaksudkan’, ‘disengaja’, dan ‘ditujukan kepada sesuatu’. Al-Hasyimi (t.t) dalam Syihabuddin (1997:16) mengungkapkan bahwa qasidah ialah syair yang larik-larik baitnya sempurna. Sebuah sya’ir disebut kasidah karena kesempurnaannya dan kesahihan wazannya, karena pengungkapnya menjadikannya sebagia hiburan, menghiasinya dengan kata-kata yang baik dan terpilih; karena kasidah itu diungkapkan dari hatinya dan perasaannya, bukan dari penalarannya semata.
Sementara itu Nicholson (1962:76-77) menegaskan bahwa pengertian kasidah itu berpusat pada masalah bentuk struktur, persajakan akhir, dan jumlah baitnya. Yang mirip dengan Nicholson di atas ialah pendapat Houtsma (1927:952) yang mengatakan bahwa kasidah merupakan sebuah istilah yang menunjukkan suatu jenis sya’ir yang sangat panjang. Kata kasidah itu sendiri menunjukkan kepada fungsinya, yaitu ditujukkan untuk memuji (“madaha”) kabilahnya atau seseorang, sehingga si penyair beroleh suatu hadiah, atau dimaksudkan untuk mencela suatu kabilah atau seseorang yang dibencinya. Jadi, kasidah ini dapat berbentuk satire maupun ode.
Selanjutnya Houtsma dalam Syihabuddin (1997:17) menegaskan bahwa sebuah kasidah memiliki struktur penceritaan tertentu. Yaitu ia diawali dengan unsur “nasib” atau “gazal” (kerinduan kepada kekasih, kampung halaman, atau berupa percintaan). Setelah itu dilanjutkan kepada unsur kedua berupa gambaran petualangannya dan perjalanannya tatkala pergi menuju kekasihnya dan kampung halamannya. Pada bagian inilah biasanya si penyair menggambarkan kehebatan kudanya, untanya, keganasan padang pasir, dan keberaniannya dalam menghadang bintang buas. Kemudian unsure kedua ini diikuti unsur ketiga berupa inti kasidahnya, yaitu memuji atau mencela seseorang atau suatu kabilah. Kemudian kasidahnya ditutup dengan ajaran-ajaran moral.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, kasidah tidak lagi memegang seluruh konvensi di atas. Di antara konvensi yang ditinggalkannya ialah struktur penceriataan kasidah. Dan sebagian penyair pun menggunakan konvensi ‘arudl secara lebih longgar. Hal ini terjadi pada perkembangan syair periode modern.
Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa kasidah sebelum periode modern merupakan syair panjang yang terikat oleh konvensi ‘arudl, bersifat madah (ode) atau hija’ (satire), dan memiliki struktur penceriataan yang terdiri atas tiga unsur sehingga menjadikannya panjang. Dewasa ini konvensi tersebut tidak lagi dipegang seketat pada periode sebelum modern.
 3) Jenis Musik
Menurut Djohan (2006:43-44), kedekatan suara dengan keseharian manusia kemudian membuka peluang untuk melihat suara dari berbagai sudut pandang yang lain. Dari kacamata psikologi misalnya, pemahaman seseorang mengenai suara sangat tergantung pada bagaimana persepsi orang tersebut terhadap apa yang ia dengar. Persepsi ini dipengaruhi pengalaman musikal dan pengalaman sosial budaya. Sebagai contoh seorang tentara akan terbiasa dengan letusan senjata karena merupakan bagian dari latihan sehari-hari, namun bagi masyarakat awam, bunyi letusan senjata dapat dengan segera memicu ketakutan akan terjadinya suatu hal yang buruk. Pemahaman terhadap suara dan musik juga sangat dipengaruhi faktor budaya. Masyarakat Barat akan segera mempersepsikan nada-nada gamelan yang pentatonik sebagai “musik Timur” dan sebaliknya seorang pengrawit yang mendengar repertoar musik klasik akan segera menganalogikannya dengan “musik Barat”. Selain itu, setiap budaya pada umumnya juga memiliki jenis musik yang khas. Pemahaman tentang aspek psikobiologis suara berawal dengan pengertian bahwa perubahan getaran udara sebenarnya adalah musik. Jauh sebelum pembentukan ontogenetik dan filogenetik suara musik, fenomena akustik yang ditemukan sudah merupakan nilai-nilai terapi musik. Fenomena akustik ini membuat orang dapat menghargai dan menentukan kembali suara eksternal serta menerjemahkan suara tersebut ke dalam bahasa musik. Akustik, suara, vibrasi, dan fenomena motorik sudah sejak ovum dibuahi oleh sperma untuk membentuk manusia baru. Pada saat itu terdapat berbagai proses yang melingkupi telur dalam kandungan, berproduksi dengan gerakan dinamis, mempunyai vibrasi, dan memiliki suara tersendiri. Misalnya, bunyi yang dihasilkan oleh dinding rahim, urat nadi, aliran darah yang mengalir bisikan suara ibu, suara dan desah nafas, mekanisme gerakan dan gesekan tubuh bagian dalam, gerakan otot, proses kimiawi dan enzim, serta banyak lainnya. Semua ini dapat dikelompokkan sebagai sebuah kesempurnaan suara.
Montello ((2004:41) menghubungkan jenis musik dengan aspek kecerdasan musik manusia, pertama, adalah musik badan, menurut ilmu pengetahuan dan falsafah yoga, terdapat lima tingkat fungsional yang membentang di seluruh spektrum kesadaran manusia. Dari yang paling kasar sampai yang paling halus, kesadaran itu meliputi tingkat badan fisik, badan energi/napas, pikiran, intuisi/intelek, dan kebahagiaan. Selanjutnya jenis musik energi, dimana mempengaruhi kekuatan untuk hidup. Menurut Gurdjieff dalam Montello (2004:73); Waktu adalah napas, Dunia napas/energi menyediakan hubungan antara material badan yang lebih padat dan dunia pikiran yang lebih halus. Menurut Hazrat Inayat Khan (1983:201), seorang ahli sufi, napas adalah hasil dari arus [yang] mengalir tidak hanya lewat badan, tetapi juga lewat semua bidang keberadaan manusia arus dari seluruh alam adalah napas sebenarnya itu adalah satu napas tetapi sekaligus banyak napas.
Sumber energi sebenarnya adalah kerangka getaran yang di seputarnya terbentuk badan fisik. Dalam teori Jenny tentang partikel besi lemah, tiba-tiba hidup dan mengatur diri menjadi pola orsinil ketika nada berneda yang bergetar menjadi bidang logam tempat mereka istirahat. Artinya jenis musik dengan nada gembira mampu mempersatukan partikel-partikel besi lemah tersebut menjadi bentuk indah yang tertata rapi.
Demikian pula, setiap jenis musik akan mempengaruhi sekitar kehidupan dan dinamika yang didekatnya sehingga membentuk sesuatu karena pengaruh getaran nada dan gelombang musik tersebut.
4) Nilai Musik
Musik dapat bernilai karena termasuk seni yang mampu membangun keselarasan, keseimbangan dan keindahan peradaban manusia, dan mengapa seni musik disebut sebagai seni surgawi, sementara seni yang lain tidak disebut seperti itu? Yang jelas melihat Tuhan ada dalam semua jenis kesenian dan ilmu pengetahuan. Namun, hanya seorang musisi sufistik saja yang, mampu melihat Tuhan bebas dari segala bentuk dan pemikiran.
Dalam tiap kesenian yang lain terdapat nilai pengidolaan. Setiap pemikiran, setiap kata, memiliki bentuk nilai. Setiap kata dalam bentuk puisi membentuk sebuah gambar dalam pikiran, dan gambaran itu adalah nilai itu sendiri. Musik, tak lebih kecil nilai-nya dari gambaran Sang Kekasih, karena musik adalah gambaran Sang Kekasih. Maka jika seseorang menyukai musik karena ia mencintai Sang Kekasih itu, sekarang apakah Kekasih? Atau di mana Kekasih itu? Kekasih adalah yang menjadi sumber nilai dan tujuan kita. Apa yang kita lihat dari Kekasih di depan mata ragawi kita adalah keindahan yang ada di depan kita. Bagian dari Kekasih kita yang tidak berujud dalam mata kita adalah bentuk batiniah dari keindahan nilai yang diwahyukan
Sang Kekasih kepada kita melalui Nabi Saw.Oleh karenanya, karena keterbatasan manusia, ia tidak akan mampu melihat wujud Tuhan secara ragawi di dunia fana ini, jika ingin melihat Tuhan di dunia ini lihatlah Ia dalam bentuk kreasi-Nya dan seluruh ciptaan-Nya, sebab segala yang dicintai di dalam warna, baris dan bentuk, atau kepribadian segala yang dicintai dan bernilai adalah milik dari Keindahan sejati yang merupakan Kekasih seluruh makhluk. (Khan, 1996: 3-4).
Ketika menelusuri sesuatu yang menarik dalam keindahan ini, yang dilihat dalam semua bentuk, maka akan diketahui, bahwa ini adalah gerak keindahan yang menggambarkan betapa agungnya nilai musik itu. Segala bentuk sifat, bunga-bunga yang dibentuk dan diwarnai begitu sempurna, planet, bintang, bumi semuanya memberikan gagasan tentang keselarasan, tentang nilai musik.
Bila nilai musik diikuti dan dijiwai oleh para seniman musik (musisi), maka tidak diperlukan lagi nilai eksternal, suatu hari musik akan menjadi sarana mengekspresikan agama universal, walaupun memerlukan waktu, dan suatu ketika akan muncul bahwa musik dan falsafahnya menjadi agama manusia, sebagai konstatasi nilai efikasi musical terhadap pembinaan kepribadian sufistik/religi setiap insan.
Pengertian tentang nilai musik, menunjukkan bahwa musik berada pada kedalaman eksistensi manusia. Musik ada di balik karya seluruh alam semesta. Nilai musik bukan hanya objek terbesar kehidupan, namun juga kehidupan itu sendiri. (Khan, 1996: 15).
 5) Nilai Sastra
Seni sastra termasuk ke dalam jejak tertulis, jejak material yang dapat dipahami informasinya lewat media bahasa. Kemajuan teknik dapat mendatangkan kemudahan dalam menghadapinya. Sastra, baik yang tertulis maupun lisan, yang memberikan keterangan tentang masa lampau berupa informasi kepoada kita pantas disebut sebagai bahan-bahan dokumenter bagi studi sejarah. Sebagai bahan-bahan dokumenter, sastra memiliki kekhasan, ia bersifat naratif dan karenanya dapat dikategorikan sebagai accepted history; contohnya adalah babad, hikayat, sejarah (dalam arti klasik), tambo, dan kalau di Barat kronik dan annales (Soeroto, 1980:4). Sedangkan nilai sastra itu ada pada karya penciptaannya, berpengaruh atau tidaknya sebuah karya sastra terhadap perkembangan moralitas, etika kemanusiaan dan lain-lain. Untuk dapat menilai karya sastra haruslah diketahui norma-norma karya sastra. Sebab itu, kita tidak bisa meninggalkan pekerjaan mengurai atau menganalisis karya sastra. Setelah itu, kita hubungkan dengan penilaian kepad tiap-tiap lapis norma karya sastra dan kita kumpulkan kembali, yaitu memberi nilai secara keseluruhan kepada karya sastra itu berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lapis-lapis norma itu yang berkaitan secara erat. Jadi, secara keseluruhan, nilai yang kita berikan sampai pada kesimpulan bahwa karya sastra itu bernilai tinggi atau kurang bernilai berdasarkan kualitas isi dari karya sastra itu, maka akan lahirlah nilai-nilai sastra qualified.

Samrah

Samrah merupakan kesenian yang komplit. Didalamnya tergabung jenisjenis kesenian : Musik, pantun, tari dan lakon.

Istilah samrah mungkin berasal dari bahasa Arab "Samarokh" yang berarti "kumpul". Penamaan ini sesuai dengan kenyataan pada waktu yang lampau samrah ditampilkan pada saat-saat orang berkumpul setelah aeara "Maulid" dan "malam Angkat" dalam rangkaian upaeara pernikahan menurut tradisi Betawi, tanpa disediakan panggung cukup disediakan tempat tertentu saja. 
Pertunjukan musik dan tari Samrah lazim dilanjutkan dengan membawa cerita. Kalau pertunjukan musik dan tarinya diselenggarakan tanpa panggung, teaternya pun dengan sendirinya tanpa panggung, yakni dengan pentas berbentuk arena, sesuai dengan keadaan tempat. Komando sebagai tanda dimulainya pertunjukan, biasanya diueapkan oleh tuan rumah yang mempunyai hajat : "Ayo dong meja-kursi digeserin, piring mangkok dibenahin, Nyok deh kite nyerbu" maka diatas tikar yang terbentang, disitulah pertunjukan dilakukan. Tampak bahwa Samrah tampil dalam pesta perkawinan, bukan pada upaeara lainnya. Mereka main karena diundang, tanpa dibayar, pemain dan hadirin hanya bertujuan menari  hiburan belaka. Tidak mengherankan bilamana kostum para pemain Samrah yang asH berupa jas, kain plakat dan peei, suatu seragam yang biasa dipakai oleh kaum pria Betawi menghadiri upaeara pernikahan. Teater 

Samrah pada umumnya tidak menggunakan dekor, kadang-kadang ada yang melengkapinya dengan sebuah meja dan dua buah kursi. Cerita yang biasa dibawakan teater Samrah adalah dengan bahasa Melayu tinggi dengan banyak menggunakan kata-kata Melayu Riau seperti eneik, abang, tuan, gerangan, hamba dan fain-lain, walaupun diueapkan dalam, lafal melayu Betawi. Tonil Samrah ini sesudah perang dunia kedua popularitasnya dikalangan remaja makin berkurang. Peremajaannya mandeg. 
Hal ini mungkin karena lagu-agunya yang berbau "kuno" dengan iramanya yang lamban, atau karena musiknya sulit dimainkan, rata-rata bernada minor; atau karena tariannya yang berdasarkan gerakan silat seni bela diri yang masih belum meluas atau juga karena pantunnya yang jarang orang menghafalkannya luar kepala. Tokoh-tokoh samrah yang aktif dewasa ini antara lain Harun Rasyid, M. Zein, Arifin, Ali Sabeni dan lain-lain, yang rata-rata berusia lima puluh tahun keatas. Seperti halnya Dermuluk penyebaran Samrah terbatas di daerah tengah kota. Sampai sebelum perang dunia kedua, Tonil Samrah dimainkan melulu oleh kaum pria saja, baik penarinya maupun peran wanitanya. 
Mungkin hal ini adalah karena masyarakat Betawi termasuk kelompok yang ketat menganut agama Islam, sehingga haram bagi wanita untuk menjadi anak panggung. Pergelaran toni! samrah pada masa lalu terdiri dari beberapa bagian : ada pembukaan berupa tarian, ada nyanyian, ada lawakan dan lakon. Dalam membawakan eerita, eiri khas Samrah terlihat dari penyampaian maksud yang berbentuk pantun yang dinyanyikan. Sama seperti "pakem" opera, karena pada dasarnya toni! samrah juga berasal dari teater rakyat Melayu Riau yakni Teater Dermuluk, tetapi dalam perkembangannya berubah bentuknya setelah muneul di Betawi menjadi Melayu Betawi. Karena berbau opera itulah, para pemain Samrah harus paham dan pandai berpantun dan bernyanyi.

Pementasan samrah dimulai dengan penampilan musik dan tari-tarian. Pengaruh budaya Arab sangat terasa karena para penari menggunakan gamis atau busana muslim. Sedangkan nuansa lokal terasa pada lagu-lagu yang dinyanyikan seperti Burung Putih, Pulau Angsa Dua, Cik Minah Sayang, Sirih Kuning, Masmura, Kicir-Kicir, Jali-Jali, Lenggang-Lenggang Kangkung,dan sebagainya. Setelah pementasan musik dan tari selesai, penonton akan disuguhi pertunjukan lakon atau teater yang kadang diiringi dengan pantun. Samrah biasanya dipentaskan saat menggelar acara pernikahan , khitanan, maulid nabi, serta peringatan keagamaan lainnya.

Contoh Kesenian Samrah
Badendang
Badendang dalam bahasa Ambon berarti berdansa/bergoyang. Tradisi Malam Badendang merupakan sarana untuk berkumpul keluarga dan membangun kebersamaan dalam hidup bermasyarakat. Dalam acara ini para peserta acara akan menarikan tari-tarian daerah seperti katerji dan orlapei. Acara yang berlangsung semalam suntuk ini juga dimeriahkan dengan karoke dan makanan khas Maluku.
            Selain dilaksanakan untuk acara kumpul keluarga, malam badendang juga diselenggarakan untuk memeriahkan acara seperti pernikahan,sidi,wisuda, dll. Acara ini digelar setelah jam 12 malam saat para tamu undangan telah pulang dan yang tinggal hanya keluarga dan kerabat. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu yang energik dan yang slow. Tarian dalam acara seperti ini adalah tarian bebas layaknya sedang dugem di club malam.

Gambar orang sedang badendang

Baku Pukul Sapu
Pukul Sapu merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa Mamala sebuah desa yang berada di pulau Ambon.Tradisi ini dilakukan setiap 7 Syawal atau sepekan setelah hari raya Idul Fitri, tradisi ini dilakukan oleh para lelaki. Mereka bertelanjang dada dengan menggunakan celana pendek dan ikat kepala. Sebelum mereka melakukan aktraksi pukul memukul mereka akan dikumpulkan di rumah adat untuk mengikuti serangkaian acara adat dan meminta doa kepada leluhur agar diberkati.
            Pemain pukul sapu berjumlah 10 sampai 15 orang yang terbagi dalam 2 kelompok dengan warna celana berbeda. Mereka memegang sapu lidi yang terbuat dari tulang daun pohon mayang (Pohon Enau) dengan panjang sekitar 1,5 meter dengan diameter pangkal lidi 1-3 cm. Mereka akan mulai saling memukul sampai tubuh mereka luka-luka dan bengkak, namun para pemain pukul sapu mengatakan bahwa mereka tidak pernah merasa sakit pada tubuh mereka, mereka hanya mereasa nyaman dan geli ketika setiap lidi dari sapu itu dipukulkan ke badan mereka.
Sekitar abad ke- XVI negeri Mamala diperintah dan dipimpin oleh tiga orang  tokoh yakni:
1. Latu Liu sebagai pimpinan pemerintahan adat Negeri Mamala
2. Patti Tiang Bessy / Patti Tembessi (Tukang Besar yang memimpin pembangunan mesjid)
3. Imam Tuny (Imam Masjid) 
Ketiga orang tersebut kemudian bermufakat mendirikan masjid. Semua persiapan mulai diadakan berupa pengumpulan bahan-bahan bangunan khususnya kayu dengan mengerahkan rakyat untuk menebang kayu di lereng-lereng gunung dan perbukitan disekitar Mamala. Selanjutnya kayu diangkut atau dipikul bersama-sama ke lokasi masjid. Salah satu di antara kayu jatuh dari pikulan dan pata]i menjadi dua, kayu yang patah ini panjangnya 20 meter. Waktu itu kebutuhan kayu untuk pembangunan masjid berukuran panjang dan harus dalam keadaan utuh atau tidak boleh sambung. Hal ini yang membuat ketiga pemimpin di atas dan masyarakat negeri Mamala mencari solusi yang tepat untuk menyambungkan kayu, sebab dalam kebutuhan pembanguan Masjid diperlukan balok kayu yang panjang dan tidak boleh disambung. Berbagai cara dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat negeri Mamala belum juga menunujukkan hasil yang diharapkan baik dalam bentuk usaha fisik maupun dalam bentuk berdoa kepada Allah Swt untuk memohon petunjuk-Nya. Keesokan harinya ilham yang diperolah Imam Tuny segera dilaporkan kepada Latu Liu dan Patti Tiang Besy dan menampakkan kegembiraannya. Dan ketiga pemimpin tersebut bermufakat untuk mempraktekkannya dan ternyata memberikan hasil yang sangat menggembirakan yakni dengan utuhnya / tersambung kembali balok kayu yang patah tersebut. 
Berdasarkan hal tersebut, maka ketiga pemimpin mereka berpendapat bahwa kalau terhadap kayu yang patah minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dapat berkhasiat maka kepada manusiapun akan bermanfaat. Musyawarah dilakukan dan musyawarah dicapai, yaitu dengan ditetapkannya tanggal dilakukan percobaan terhadap manusia dengan menggunakan lidi aren. Lidi aren menurut kepercayaan masyarakat merupakan senjata yang bertuah. Cara yang dilakukan adalah dengan membentuk kelompok kemudian selain memukul. Pada luka-luka yang ditimbulkan oleh pukulan lidi aren kemudian dioleskan minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Beberapa saat kemudian ternyata luka-luka tersebut mengering dan sembuh. 
Dari sinilah atas musyawarah bersama masyarakat negeri. Mamala maka ditetapkan pada tahun 1545 M., digelarkan acara ukuwala mahiate yang pertama kali sebagai percobaan terhadap manusia dengan menggunakan ukuwala / lidi aren dan dijadikan sebagai senjata dalam tarian adat ukuwala mahiate.
Upacara ritual ukuwala mahiate dilaksanakan setiap tahun tepatnva pada tanggal 8 Syawal di negeri Mamala, setelah mereka melaksanakan puasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan puasa sunnah Syawal. Upacara ritual ini dilatarbelakangi oleh adanya pembanguan Masjid di negeri Mamala. Oleh karena itu, keberadaan Masjid inilah yang melahirkan adanya upacara ukuwala mahiate. Dalam pelaksanaan upacara ini terdapat makna-makna simbol yang diuraikan di atas yakni masjid, nyuwelain matehu (Minyak Mamala). dan ukuwala mahiate tidak bisa dipisahkan atau merupakan satu rangkain yang utuh dalam pelaksanaan upacara ritual ini. 
Upacara ritual ukuwala mahiate / pukul sapu yang mengandung nilai-nilai budaya yang sangat tinggi merupakan upacara adat negeri Mamala yang sangat terkenal sehingga mampu menarik perhatian masyarakat dan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Pementasannya tidak hanya ditujukan untuk disaksikan oleh masyarakat setempat tetapi terbuka bagi semua komunitas tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan. Kata ukuwala terambil dan bahasa negeri Mamala yang artinya sapu lidi sedangkan Mahiate artinya baku pukul. Jadi arti dari ukuwala mahiate adalah baku pukul manyapu.  
Pukul Manyapu atau Baku Pukul Manyapu merupakan atraksi unik dari Maluku Tengah yang biasanya dipentaskan di Desa Mamala dan Desa Morella, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Berlangsung setiap 7 syawal (penanggalan Islam) dimana telah berlangsung dari abad XVII yang diciptakan seorang tokoh agama Islam dari Maluku bernama Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan keberhasilan pembangunan masjid yang selesai dibagun pada 7 syawal setelah Idul Fitri.

Kirab Budaya Pembukaan Perayaan 7 Syawal Di Desa Mamala
Tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah masyarakat setempat yaitu perjuangan Kapiten Tulukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke-16 di tanah Maluku. Pasukan Tulukabessy bertempur untuk mempertahankan Benteng Kapapaha dari serbuan penjajah meskipun perjuangan mereka gagal dan Benteng Kapapaha tetap jatuh juga. Untuk menandai kekalahan tersebut, pasukan Tulukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk hingga berdarah.

Cambuk Lidi Yang Di Pakai Dalam Tradisi Pukul Manyapu
Tradisi Pukul Manyapu dipandang sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di Desa Mamala dan Desa Morella. Dipertunjukan oleh pemuda yang dibagi dalam dua kelompok dimana setiap kelompoknya berjumlah 20 orang. Kedua kelompok dengan seragam berbeda itu akan bertarung satu sama lain. Kelompok satu menggunakan celana berwarna merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana berwarna hijau. Pesertanya juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Alat pukul dalam tarian ini adalah sapu lidi dari pohon enau dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dari dada hingga perut.
Jalannya Atraksi
Ketika atraksi dimulai, kedua kelompok akan saling berhadapan dengan memegang sapu lidi di kedua tangan. Ketika suara suling mulai ditiup sebagai aba-aba pertandingan dimulai kemudian kedua kelompok ini secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi. Dimulai dengan kelompok bercelana merah memukul kelompok bercelana hijau atau sebaliknya. Ketika dimulai maka suara cambukan lidi di badan peserta akan terdengar dan darah pun keluar akibat sabetan lidi. Suasana ini akan membuat tubuh Anda bergidik.
Kehebatan dari tradisi pukul manyapu ini adalah bagaimana pesertanya seakan tidak merasa kesakitan walaupun tubuh mereka mengelurkan darah akibat dari sabetan lidi. Akan tetapi, jangan kaitkan itu dengan kekuatan mistis atau gaib, karena para peserta sebenarnya sudah melebur dalam semangat yang telah membenamkan rasa sakit.

Badan Orang Yang Di Pukul Dalam Tradisi Pukul Manyapu
Ketika pertempuran selesai, pemuda kedua desa tersebut menggobati lukanya dengan menggunakan getah pohon jarak. Ada juga yang mengoleskan minyak nyualaing matetu (minyak tasala) dimana mujarab untuk mengobati patah tulang dan luka memar.
Tradisi pukul manyapu merupakan perayaan yang ditunggu-tunggu warga dan wisatawan setiap tahunnya. Anda dapat melihat proses pembuatan pohon enau menjadi sebuah lidi dan juga pengolahan minyak kelapa untuk pengobatan selepas tradisi ini. Selain itu, tradisi ini juga diramaikan dengan permainan rebana, karnaval budaya, dan pertunjukan tari lokal seperti tari putri, tari mahina, dan tari perang. Dikabarkan, desa Mamala dan desa Morella meraup untung dari kedatangan wisatawan baik lokal, regional maupun internasional terutama dari Belanda.

Jumat, 18 Agustus 2017

Sejarah Australia

MAKALAH
SEJARAH AUSTRALIA/OCEANIA
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA AUSTRALIA






OLEH :













KATA PENGANTAR


            Puji dan syukur saya haturkan kepada Allah SWT. Serta salam dan shalawat tak lupa saya panjatkan kepada Rasulullah saw, keluarga, serta para sahabatnya. 
            Karena atas rido-Nya saya dapat menyelesaikan tugas pembuat makalah ini. Dan saya mengucapkan terima kasih kepada guru-guru yang telah memberi arahan dalam proses pembuatan makalah ini, serta saya berterimakasih kepada rekan-rekan yang telah membantu saya selama pembuatan makalah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat digunakan sebagai mana mestinya.
            Dan saya meminta saran serta kritik atas kekurang-kekurangan yang ada pada makalah yang saya buat ini. Karena kritik dan saran para pembaca adalah penghargaan bagi saya selaku pembuat makah ini.


















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................
A.     Latar Belakang ....................................................................................................
B.     Rumusan Masalah ...............................................................................................
C.      Tujuan .................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................
A.     Bentuk Negara .....................................................................................................
B.     Bentuk Pemerintahan....... ...................................................................................
C.    Sistem Pemerintahan  ...........................................................................................
D.     Tugas Lembaga-lembaga Pemerintahan..............................................................
BAB III PENUTUP ...............................................................................................................
A.     Kesimpulan ........................................................................................................













BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sistem pemerintahan berasal dari dua kata yaitu sistem dan pemerintahan. Sistim adalah suatu kesatuan dari komponen-komponen atau elemen-elemen yang satu sama lain saling terikat membentuk keseluruhan yang kompleks. Menurut David Apter, pemerintahan adalah satuan anggota paling umum yang memiliki tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mencakupnya (sistem pemerintahannya). 
Pengertian sistem pemerintahan juga dibagi menjadi dua, yaitu sistem pemerintahan secara luas dan sistem pemerintahan secara sempit. Berdasarkan pengertian sistem pemerintahan secara luas dan sempit dapat kita simpulkan bahwa sistem pemerintahan adalah suatu kesatuan dari berbagai elemen untuk mencapai tujuan tertentu dalam rangka menjalankan organisasi terbesar yaitu negara. 
Elemen-elemen yang dimaksud adalah organ-organ atau lembaga-lembaga negara, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap elemen tersebut bergabung menjalankan tugasnya masing-masing. Meskipun demikian, elemen satu dengan yang lainnya saling berkoordinasi demi tercapainya tujuan yang dicita-citakan bersama.
Dalam mempelajari sistem pemerintahan tidak bisa lepas dari konsep bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Para tokoh yang mempelejari ilmu negara belum mempunyai kesepakatan yang sama mengenai bentuk negara dan bentuk pemerintahan.
Rumusan Masalah
1.      Apa bentuk negara Australia?
2.      Seperti apa bentuk pemerintahan negara Australia?
3.      Sistem pemerintahan apakah yang digunakan oleh negara Australia?
4.      Bagaimana lembaga-lembaga pemerintahan negara Australia?


Tujuan
1.      Untuk mengetahui bentuk negara apakah yang digunakan oleh negara Australia.
2.      Untuk mengetahui bentuk pemerintahan apa yang digunakan oleh negara Austaria.
3.      Untuk mengetahui seperti apakah sistem pemerintahan yang digunakan oleh Australia.
4.      Untuk mengetahui bagaimana keadaan lembaga-lembaga pemerintahan negra Australia.
5.     Dan Untuk mengetahui fungsi dan tugas dari lembaga-lembaga pemerintaha negara  Australia.




BAB II
PEMBAHASAN

Bentuk Negara
Bentuk negara dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Negara Kesatuan (Unitaris)
Negara kesatuan adalah negara bersusuan tunggal yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya, ada ditangan pemerintahan pusat. Pemerintahan pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi
2.      Negara serikat (Federasi)
Negara serikat adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Negara-negara bagian boleh memiliki kontitusi sendiri, kepala negara sendiri dan kabinet sendiri, perlemen sendiri, yang berdaulat dalam negara serikat adalah gabungan negara-negara bagian yang disebuat dengan federal.
Dari penjelasan bentuk negara diatas negara Australia termasuk dalam negara yang berbentuk negara serikat (Federasi). Karena negara Australia masih berada di bawah naungan negara Inggris, dan juga negara Australian menganut sistem monarki konstitusional deng ratu Elizbet II dari Inggris sebagai kepala negara.
Bentuk Pemerintahan
Negara Australia memiliki bentuk pemerintahan yang menganut sistem monarki konstitusional. Monarki konstitusional adalah sejenis monarki yang didirikan di bawah sistem kontitusional yang mengakui ratu sebagai kepala negara. Monarki konstitusional yang modern biasanya menggunakan konsep trias politica, atau politik tiga serangkai. Ini berarti raja atau ratu adalah hanya ketua simbolis cabang eksekutif.

Saat ini, monarki konstitusional lazimnya digunakan dengan demokrasi representatif. Oleh karena itu, kerajaan masih di bawah kekuasaan rakyat tetapi raja mempunyai peranan tradisional di dalam sebuah negara. Pada hakikatnya sang perdana mentri, pemimpin yang dipilih rakyat, yang memerintah negara dan bukannya Raja. Namun demikian, terdapat juga raja yang bergabung dengan kerajaan yang tidak demokratis.
Sistem Pemerintahan 
Sistem pemerintahan Australia dibangun di atas tradisi demokrasi liberal. Berdasarkan nilai-nilai toleransi beragama, kebebasan berbicara dan berserikat, dan supremasi hukum, lembaga-lembaga Australia dan praktik-praktik pemerintahannya mencerminkan model Inggris dan Amerika Utara. Pada saat yang sama, mereka khas Australia. 
Pemerintah Yang Bertanggung Jawab
Salah satu yang partai tertua dan berkelanjutan demokrasi di dunia , Persemakmuran Australia didirikan pada 1901 ketika bekas koloni Inggris - sekarang enam negara bagian - sepakat untuk menjadi federasi . Praktek dan prinsip-prinsip demokrasi parlementer yang membentuk pra - federasi kolonial ( seperti ' satu orang , satu suara ' dan hak pilih perempuan ) yang diberlakukan oleh pemerintah federal Australia pertama .

Koloni Australia mewarisi tradisi Inggris yang mencakup pemilihan hak pilih terbatas dan pemungutan suara umum dan ganda . Pelanggaran seperti suap dan intimidasi pemilih mendorong perubahan pemilihan . Australia mempelopori praktek reformasi pemilu yang mendukung demokrasi modern .

Pada tahun 1855 , Victoria memperkenalkan pemilihan secara rahasia, yang menjadi terkenal di seluruh dunia sebagai ' pemilu Australia ' . Pada tahun 1856 , Australia Selatan menghapuskan persyaratan profesional dan harta benda dan memberikan hak untuk memilih kepada semua laki-laki dewasa , maka pada tahun 1892 memberi perempuan hak untuk memilih hari ini. Pada dekade 1890-an koloni pada prinsip satu suara per orang , menghentikan praktik pemungutan suara ganda .
Pemerintah Australia didasarkan pada parlemen yang dipilih secara populer dengan dua majelis Dewan Perwakilan dan Senat .

Para menteri yang diangkat dari kedua majelis ini menjalankan fungsi eksekutif, dan keputusan kebijakan dibuat dalam rapat-rapat Kabinet. Selain pengumuman keputusan, diskusi Kabinet tidak disebarluaskan. Para menteri terikat oleh prinsip solidaritas Kabinet, yang sangat mencerminkan model Inggris yakni Kabinet bertanggungjawab kepada parlemen. 
Walaupun Australia adalah bangsa yang merdeka, Ratu Elizabeth II dari Inggris secara resmi juga merupakan Ratu Australia. Ratu menunjuk Gubernur Jenderal (atas saran dari Pemerintah Australia terpilih) untuk mewakilinya. Gubernur Jenderal memiliki kekuasaan yang luas, tetapi berdasarkan konvensi hanya bertindak atas saran para menteri dalam hampir semua urusan.
UUD tertulis
Seperti Amerika Serikat namun berbeda dengan Inggris, Australia memiliki undang-undang dasar tertulis. UUD Australia merumuskan tanggung jawab pemerintah federal, yang mencakup hubungan luar negeri, perdagangan, pertahanan dan imigrasi. Pemerintah negara bagian dan teritori bertanggungjawab atas semua urusan yang tidak dilimpahkan kepada Persemakmuran, dan mereka juga mematuhi prinsip pemerintah yang bertanggungjawab. Di negara bagian, Ratu diwakili oleh seorang Gubernur untuk setiap negara bagian. 
Pengadilan Tinggi Australia menangani sengketa antara Persemakmuran dan negara bagian. Banyak keputusan pengadilan memperluas kekuasaan dan tanggung jawab konstitusional pemerintah federal. 
UUD Australia hanya dapat diubah dengan persetujuan pemilih melalui suatu referendum nasional di mana seluruh orang dewasa yang masuk dalam daftar pemilih harus ikut serta.
Rancangan undang-undang yang berisi amandemen pertama-tama harus disahkan oleh kedua majelis parlemen tersebut atau, dalam situasi tertentu saja, hanya oleh salah satu majelis parlemen. Setiap perubahan UUD harus disetujui oleh mayoritas ganda – mayoritas pemilih nasional dan mayoritas pemilih di mayoritas negara bagian (sekurangnya empat dari enam negara bagian). Jika satu atau bebeberapa negara bagian tertentu terkena dampak isi referendum tersebut, mayoritas pemilih di negara-negara bagian tersebut juga harus menyetujui perubahan tersebut. Ini sering disebut dengan kaidah ‘tiga mayoritas’. 
Ketentuan mayoritas ganda membuat perubahan UUD menjadi sulit. Sejak federasi berdiri pada 1901, hanya delapan dari 44 usulan amandemen UUD yang disetujui. 
Pemilih pada umumnya enggan mendukung apa yang mereka pandang sebagai peningkatan kekuasaan pemerintah federal. 
Negara bagian dan teritori juga boleh menyelenggarakan referendum.
Kedaulatan parlementer
UUD Australia menjabarkan kekuasaan pemerintah dalam tiga bagian – legislatif, eksekutif dan yudikatif – tetapi menegaskan bahwa anggota legislatif harus juga anggota eksekutif. Pada kenyataannya, parlemen mendelegasikan wewenang penyusunan undang-undang yang luas kepada eksekutif. 
Sistem parlementer adalah sistem parlemen yang lebih besar dari pada kabinet. Parlemen mempunyai tugas membentuk kabinet dan mengangkat perdana menteri. Oleh karena itu, parlemen berhak membubarkan kabinet dan mengganti perdana mentri. Pada sistem parlementer, posisi kepala negara hanya dijadikan  sebagai simbol negara karena yang mengurusi pemerintahan adalah perdana menteri.
Pemerintah dibentuk di Dewan Perwakilan Rakyat oleh partai yang mampu meraih mayoritas di majelis tersebut.Partai minoritas seringkali menjadi penyeimbang kekuasaan di Senat, yang berfungsi sebagai majelis kaji ulang keputusan-keputusan pemerintah. Para senator dipilih untuk masa bakti enam tahun, dan dalam satu pemilihan umum biasa hanya separuh senator yang menghadapi pemilih. 
Di semua parlemen Australia, pertanyaan dapat diajukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dan menerapkan giliran yang ketat antara pertanyaan pemerintah dan Oposisi kepada para menteri selama Waktu Tanya- Jawab. Oposisi menggunakan pertanyaan untuk mencecar pemerintah. Pemerintahan memberi kesempatan kepada para menteri untuk menjelaskan kebijakan dan tindakan pemerintah secara positif, atau untuk menyerang Oposisi. 
Apa pun yang diucapkan di parlemen dapat disebarluaskan dengan berimbang dan akurat tanpa kekhawatiran akan tuntutan pencemaran nama baik. Keriuhan Waktu Tanya-Jawab dan debat parlemen disiarkan dan diberitakan secara luas. Ini membantu membangun reputasi debat publik yang tangguh di Australia, dan berfungsi sebagai kendali informal atas kekuasaan eksekutif.
Kekerapan pemilihan umum
Pemilihan umum nasional harus diselenggarakan dalam jangka waktu tiga tahun sejak sidang pertama parlemen federal yang baru. Masa bakti rata-rata parlemen sekitar dua setengah tahun. Pada praktiknya, pemilihan umum diadakan ketika Gubernur Jenderal menyetujui permintaan dari Perdana Menteri, yang memilih tanggal pemilihan umum. 
Partai yang berkuasa berganti rata-rata setiap lima tahun sejak federasi berdiri pada 1901, akan tetapi masa bakti pemerintah sangat bervariasi. Partai Liberal memimpin koalisi dengan masa bakti paling lama — 23 tahun — dari 1949 hingga 1972. Sebelum Perang Dunia II, beberapa pemerintahan bertahan kurang dari satu tahun, tetapi sejak 1945 hanya terjadi tujuh kali pergantian pemerintahan.
Pemungutan suara
Seluruh warga negara yang berusia di atas 18 tahun wajib memberikan suaranya dalam pemilihan umum pemerintah federal atau negara bagian, dan kemangkiran dari pemilu dapat berujung pada denda atau tuntutan pidana.
Partai
Seperti halnya di negara lain, partai politik Australia dan kegiatan internalnya umumnya tidak diatur, namun disiplin internal partai sangat ketat. Australia memiliki sistem resmi pendaftaran partai dan pelaporan kegiatan partai melalui Komisi Pemilihan Australia dan komisi setara di tingkat negara bagian dan teritori. 
Australia memiliki empat partai politik utama. Partai Buruh Australia (ALP) adalah partai sosial demokrat yang didirikan oleh gerakan buruh Australia. ALP telah berkuasa sejak akhir 2007. Partai Liberal adalah partai sayap kanan tengah. Partai Nasional Australia, sebelumnya Partai Negeri, adalah partai konservatif yang mewakili kepentingan pedesaan. Partai Hijau Australia adalah partai sayap kiri dan lingkungan. 
Partai politik utama Australia memiliki tata cara terstruktur untuk melibatkan anggota mereka dalam pengembangan kebijakan partai atas isu tertentu. Politisi terpilih jarang yang menentang partai mereka di parlemen. 
Meskipun para komentator Australia mengamati bahwa pemilihan umum semakin bersifat ‘presidensial’ dalam arti beberapa metode kampanye Amerika telah digunakan, struktur dasar sistem Australia cenderung menekankan posisi kebijakan daripada kepribadian perorangan politisi. 
Seperti halnya di negara demokrasi lainnya, biaya kampanye pemilu dan sumber dana kegiatan politik menjadi isu di Australia. Sejak 1984, sistem pendanaan publik (dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum Australia) dan keterbukaan kampanye pemilihan umum telah diterapkan. Partai harus meraih sedikitnya 4 persen dari suara yang sah dalam pemilihan yang mereka ikuti untuk menerima dana publik. 
Partai-partai harus mengungkapkan pengeluaran kampanye dan sumber-sumber sumbangan di atas batas yang sudah ditentukan. 
Calon perorangan juga harus mengungkapkan sumber sumbangan di atas batas tertentu. Partai dan perorangan yang mengikuti pemilihan umum tidak secara berturut-turut harus mengungkapkan hadiah dan sumbangan yang diterima di selang kampanye.
Hubungan antar tingkat-tingkat pemerintahan
Parlemen negara bagian tunduk kepada UUD nasional dan konstitusi negara bagian. Hukum federal mengalahkan hukum negara bagian yang tidak selaras dengannya. 
Dalam praktiknya, kedua tingkat pemerintahan bekerja sama dalam banyak bidang di mana negara bagian dan teritori secara resmi bertanggungjawab, seperti pendidikan, transportasi, kesehatan dan penegakan hukum. Pajak penghasilan ditetapkan secara federal, dan debat antar tingkat pemerintahan mengenai akses ke penerimaan dan fungsi pengeluaran yang tumpang tindih adalah corak permanen politik Australia. Lembaga pemerintah daerah dibentuk melalui perundang-undangan di tingkat negara bagian dan teritori. 
Dewan Pemerintahan Australia (COAG) adalah forum untuk memprakarsai, mengembangkan dan menerapkan reformasi kebijakan nasional yang menuntut tindakan kerja sama antar tiga tingkat pemerintahan: nasional, negara bagian atau teritori, dan daerah. Sasarannya mencakup penanganan isu besar dengan kerja sama dalam reformasi struktural pemerintah dan reformasi untuk mencapai ekonomi nasional yang terintegrasi dan efisien serta pasar tunggal nasional.
COAG terdiri dari perdana menteri, perdana menteri negara bagian, ketua menteri teritori, dan presiden Asosiasi Pemerintah Daerah Australia. 
Selain itu, dewan menteri (terdiri dari menteri nasional, negara bagian dan teritori, dan bila relevan, perwakilan pemerintah daerah dan pemerintah Selandia Baru dan Papua Nugini) bertemu secara teratur untuk mengembangkan dan menerapkan tindakan antar-pemerintah di bidang-bidang kebijakan khusus.()
Tugas Lembaga-lembaga Pemerintahan
Di Austarila terdapat lembaga-lembaga pemerintahan yang bekerja sesuai tugas dan wewenangnya masing-masing. Lembaga-lembaga seperti legeslatif, eksekutif dan yudikatif memiliki tugas-tugasnya masing masing dalam pemerintahan. Di Australia terdapat tiga cabang pemerintahan sebagai berikut.
a.      Legislatif : Parlemen Australia terdiri atas gubenur jendral, senator, dan anggota dewan perwakilan. Bertuga membuat undang-undang, fungsi untuk seimbol negara.
b.      Eksekutif : Dewan eksekutif federal yang terdiri atas gubernur jendral dan pertimbangan para penasehat eksekutif (perdana menteri dan para menteri). Bertugas melaksanakan undang-undang
c.       Yudikatif : Mahkamah Agung Austalia dan pengadilan-pengadilan federal lainnya. Bertugas memastikan berfungsinya pengadilan, dan pengangkatan serta pemberhentian hakim


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Dari pemeparan diatas dapat kami simpulkan bahwa negara Australia memiliki bentuk negara serikat. Negara Austarila menggunakan pemerintahan parlementer dan negara Austeralia mengganut pahaman monarki konstitusional yang ratu Elizbet II dari Inggris sebagai kepala negara.
Dan memiliki sistem pemerintahan yang tidak jauh dari sistem pemerintahan negara lain hanya saja terdapat beberapa perbedaan salah satunya karena Austeralia mengganut pahaman monarki konstitusional yang ratu Elizbet II dari Inggris sebagai kepala negara.












DAFTAR PUSTAKA

http://kumpmaka.blogspot.co.id/2016/05/makalah-pkn-tentang-sistem-pemerintahan.html
di akses tanggal 14 Mei 2017
http://indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/sistem_pemerintahan.html
di akses tanggal 14 Mei 2017



















Proposalnya Ibu Rina Pusparani






BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Pendidikan yang dilaksanakan Pemerintah Hindia Belanda umumnya bertujuan untuk memenuhi keperluan tenaga kerja untuk kepentingan kaum modal Belanda. Untuk itu penduduk pribumi dididik untuk menjadi pegawai tingkat rendahan. Ada juga yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga didik, tenaga pertanian dan lain-lainnya yang diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua dan tiga. Secara singkat tujuan pendidikan adalah untuk memperoleh tenaga kerja murah. Hal ini terbukti dengan rendahnya upah pegawai negeri dan pekerja pribumi dibandingkan dengan upah orang-orang Barat pada pekerjaan yang sama. Tujuan pendidikan ini erat hubungannya dengan masalah ekonomi yaitu untuk mengalirkan keuntungan yang sebesar-besarnya pada kas Belanda. Tidak ada keinginan untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan kaum pribumi (Mestoko, 1986: 109-110).
Pemerintah mulai mempunyai perhatian terhadap pendidikan pribumi pada pertengahan abad ke-19 (Niel, 1984: 44). Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan akan tenaga-tenaga terdidik dari kalangan bumiputra untuk melancarkan kebijakan  ekonomi  mereka  karena   untuk  mendatangkan   pegawai dari Negeri
Belanda tentu memerlukan biaya yang besar. Untuk itu pemerintah mulai menyelengarakan pendidikan untuk bumiputra namun pada awalnya hanya untuk anak-anak dari kalangan atas. Baru pada tahun 1848, melalui surat keputusan Raja Belanda No. 95 tanggal 30 September 1848 yang isinya memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menyediakan dana f. 25.000,- per tahun guna pendirian sekolah-sekolah bumiputra di Pulau Jawa. Berdasarkan keputusan ini maka didirikan 20 sekolah dasar negeri di setiap ibukota keresidenan (Mestoko, 1986: 92-93, Lubis et al., 20032: 10-11, Nasution, 2008: 11).
Pada tahun 1893 terjadi reorganisasi pada pendidikan dasar yang berazaskan pada Keputusan Raja tanggal 28 September 1892 yang dimuat di Lembaran Negara (staatsblad) No. 125 tahun 1893 yaitu tentang pembagian sekolah dasar bumiputra menjadi dua kategori yaitu Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse) dan Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse). Sekolah kelas satu untuk anak-anak bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan orang-orang bumiputra yang terhormat. Sekolah kelas dua untuk anak-anak bumiputra pada umumnya (Mestoko, 1986: 93, Lubis et al., 20032: 13-14).
Kegiatan dan jenis pendidikan bumiputra makin bertambah dengan pembukaan Sekolah Pendidikan Calon Guru (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) yang pertama di Surakarta tahun 1852, kemudian di Bukittinggi tahun 1856, Tapanuli tahun 1864, Bandung tahun 1866, Tondano tahun 1873, Ambon tahun 1874, Probolinggo tahun 1875, Banjarmasin tahun 1875 dan Makassar tahun 1876 (Mestoko, 1986: 96). Selanjutnya pembukaan Hoofdenschool yaitu sekolah khusus untuk kedudukan pamong atau calon pegawai. Sekolah ini didirikan di Kota Bandung berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 30 Maret 1878 No. 21. Kemudian pada tahun 1900 sekolah ini  diubah  menjadi Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 19 Agustus 1900 No. 11 (Niel, 1984: 44-45, 70, Lubis, et al., 20032: 25). Berangsur-angsur penduduk bumiputra, Cina, dan golongan lainnya diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan Barat dan merupakan dasar untuk mendapatkan pendidikan dari sekolah dasar hingga pendidikan  tinggi secara barat (Mestoko, 1986: 103).
Selanjutnya, memasuki abad ke-20 pendidikan semakin berkembang. Hal ini dipengaruhi oleh adanya Politik Etis yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda sehingga tampak kemajuan pesat dalam pendidikan. Pertumbuhan sekolah dapat dibedakan menjadi empat kategori sekolah, sebagai berikut:
Sekolah Eropa yang sepenuhnya memakai model sekolah negeri Belanda, tingkatannya antara lain, Europeesche Lagere School (selanjutnya disingkat ELS), Hogere Burger School (selanjutnya disingkat HBS) dilanjutkan ke sekolah tinggi di Negeri Belanda.
Sekolah bagi bumiputra  yang memakai Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Tingkatannya antara lain Hollandsch Inlandsche School (selanjutnya disingkat HIS), dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (selanjutnya disingkat MULO) kemudian ke Algemeene Middelbare School (selanjutnya disingkat AMS) lalu ke sekolah tinggi
Sekolah untuk bumiputra yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa pengantar antara lain Inlandsche School der Tweede Klass, Volksschool (Sekolah Desa), Vervolgschool (Sekolah Lanjutan Volksschool), Schakelschool (Sekolah Penghubung)
Sekolah memakai  sistem pribumi. (Kartodirdjo, 1999: 76). Contohnya sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa, INS Kayu Tanam, dan lain-lainnya.
    Perkembangan pendidikan di daerah Jawa sangat pesat jika dibandingkan dengan daerah di luar Jawa seperti daerah Maluku. Maluku merupakan wilayah yang dicari dan diperebutkan oleh beberapa negara di Eropa antara lain Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Ini disebabkan Maluku memiliki rempah-rempah yang sangat dibutuhkan bangsa Barat pada masa itu. Pada abad ke-17 Maluku dan Maluku Tengah menjadi wilayah yang sangat penting dan menjadi pusat perhatian pada awal masa penjajahan karena eksploitasi rempah-rempah yang berpusat di sana. Namun pada pertengahan abad ke-19 peranan ekonomi di wilayah ini mengalami kemunduran akibat dihapusnya monopoli cengkih pada tahun 1863. Penghapusan monopoli ini karena turunnya harga cengkih di pasaran dunia (Leirissa, et al., 1983: 25). Hal ini menyebabkan beralihnya perhatian pemerintah kolonial ke tempat-tempat lain terutama ke daerah Jawa. Pada saat yang sama dibangun suatu  sistem administrasi pemerintahan yang lebih terpusat dan sistem pendidikan pun mendapat  perhatian  pemerintah (Brugmans, 1938: 133-134)
      Pendidikan di Maluku pada awalnya dikelola oleh pihak Zending. Akan tetapi, pada tahun 1864 terjadi penghapusan peranan Zending. Penghapusan peranan Zending dinyatakan secara formal dalam Peraturan Pemerintah tahun 1871. Pada dasarnya politik pendidikan sejak itu mengeluarkan pengajaran agama dari pendidikan umum (Brugmans, 1938: 159-161). Sejak itu sekolah-sekolah Zending tidak terdapat lagi di Maluku pada awal abad ke-20. Akan tetapi sekolah-sekolah yang ada selama abad ke-19 tidak dapat begitu saja menghilangkan warna yang diperoleh selama masa pembinaan Zending itu. Penghapusan ini disebabkan pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda mulai membangun sistem pendidikan bumiputra (Inlandsche onderwijs) (Leirissa, 1989: 54).  Pertama yang dapat dicatat adalah timbulnya Sekolah Negeri yang sekuler yang corak pendidikannya membebaskan diri dari pengaruh agama khususnya agama Kristen Protestan. Inilah yang disebut pendidikan Barat. Ordonansi April 1874 yang dimuat dalam Staatsblad no. 99 menetapkan bahwa pengajaran dianggap menjadi tanggung jawab penuh pemerintah (Pattikayhatu et al., 1980: 20).
Perkembangan yang khas di Maluku Tengah menyebabkan sistem pendidikan di sana sulit disinkronkan dengan sistem pendidikan yang muncul di Jawa. Baru  pada  awal  abad  ke-20  sistem   pendidikan  di Maluku Tengah dapat disamakan dengan di Jawa. Sistem pendidikan Barat di Maluku mulai dengan dibukanya ELS pada tahun 1817, Ambonsche Burgerschool (selanjutnya disingkat ABS) pada tahun 1869, Kweekschool tahun 1874, School tot Opleiding van Inlandsche Leeraar (selanjutnya disingkat STOVIL) tahun 1885, HIS pada tahun 1919, dan MULO pada tahun 1915. Sekolah-sekolah ini biasanya dikhususkan bagi anak-anak golongan atas, orang-orang kaya, anak-anak pegawai negeri, anak-anak dari keturunan burger, anak-anak dari keluarga-keluarga yang
memakai fam (nama keluarga) Belanda dan anak-anak dari orang gelijkgesteld dan anak-anak Cina dan Arab. Pada sekolah-sekolah ini uang sekolah tidak dipungut dan murid-murid diberi minum dan makan roti pada waktu istirahat. Bagi anak-anak Belanda totok dan anak-anak ambtenaar disediakan Europeesche Lagere School (Pattikayhatu et al., 1980: 27-32). Pendidikan untuk anak-anak bumiputra dari kalangan biasa adalah Volkschool (Sekolah Desa) yang sebelumnya merupakan sekolah-sekolah Zending. Sejak tahun 1893 dinyatakan termasuk kategori De Scholen der Tweede Klasse (Leirissa, 1989: 71).
      Pembentukkan ABS pada tahun 1869 merupakan tonggak penting dalam sejarah pendidikan masyarakat Ambon. Sekolah itu menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Inilah yang merupakan perubahan besar dalam sistem pendidikan di Ambon. ABS dianggap sebagai sekolah yang cukup memadai sehingga di Kota Ambon tidak dibuka sekolah jenis De Scholen der Eerste Klasse bahkan ketika sekolah jenis ini  diganti menjadi HIS pada 1914, di Maluku Tengah tidak dibuka sekolah HIS karena ABS dirasa cukup memadai sebagai lembaga pendidikan untuk kalangan atas dan burger. Memasuki tahun 1919 HIS baru dibuka di Ambon, Saparua, dan Piru (Seram Barat). Sekolah model ABS kemudian berangsur-angsur didirikan juga di tempat-tempat lain, termasuk di Maluku Tengah yaitu di Saparua pada tahun 1911 dibuka Saparoeasche School (Leirissa, 1989: 71). Pada tahun 1934 di Kota Ambon didirikan sebuah sekolah yang bercorak Taman Siswa yaitu Sekolah Balai Pendidikan oleh E.U. Pupella (Pattikayhatu et al., 1980: 27-32).
Sekolah-sekolah yang didirikan ini pun tidak terlalu banyak dan diprioritaskan untuk anak-anak golongan bangsawan dan dalam hal ini di Maluku Tengah yaitu “anak Raja” atau “Patti”, orang kaya dan anak guru serta beberapa anak pegawai (Pattikayhattu, 1978: 17). Masyarakat Maluku yang beragama Islam hampir tidak mendapat kesempatan untuk bersekolah karena semua sekolah pada zaman ini didirikan di negeri-negeri (desa-desa) yang penduduknya beragama Kristen Protestan. Di samping itu, adanya keengganan golongan Islam Maluku sendiri untuk menerima lembaga pendidikan yang didirikan oleh orang-orang swasta kulit putih karena lembaga itu dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama mereka. Mereka melihat lembaga ini sebagai suatu lembaga kafir karena didirikan oleh orang kafir (orang kulit putih yang bukan beragama Islam). Dengan sendirinya menurut anggapan mereka barang siapa yang menyekolahkan anaknya pada lembaga itu adalah orang kafir. Hanya ada beberapa orang golongan bangsawan yang beragama Islam saja yang mau memanfaatkan lembaga ini bagi anak-anak mereka. Mereka lebih cenderung untuk bekerja dalam bidang perdagangan, pertanian, dan lain-lain (Pattikayhattu, 1978: 18-19).
Bagi orang Maluku Tengah kesempatan untuk memperoleh pendidikan ini banyak dimanfaatkan oleh mereka yang beragama Kristen terutama dari kalangan Burger untuk mengubah status mereka. Orang-orang Maluku Kristen pada zaman ini melihat bidang pekerjaan menjadi pegawai pemerintah atau anggota militer Belanda sebagai suatu pekerjaan yang dapat mendatangkan gengsi dan meningkatkan prestise mereka dalam masyarakat. Dengan demikian lambat laun mereka (pemuda) mulai meninggalkan pekerjaan bertani dan berlomba-lomba melamar pekerjaan untuk menjadi militer atau pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah Hindia Belanda. Semua pekerjaan di luar kedua bidang  ini lama kelamaan dilihat sebagai pekerjaan yang hina yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang desa atau oleh orang-orang golongan kebanyakan.
Dengan dijalankannya Politik Etis pada awal abad ke-20 terbukalah peluang untuk pribumi mengenyam pendidikan berorientasi Barat lebih luas karena mulai ada pertambahan dan perbaikan pendidikan untuk orang Indonesia (Niel, 1984: 70, Nasution, 2008: 19-20). Politik Etis yang menurut pemerintah adalah untuk membalas budi kepada tanah jajahan, namun tetap saja perkembangan pendidikan Barat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pihak Belanda akan tenaga kerja. Meskipun demikian, sebagai hasil yang tidak disengaja dari Politik Etis ini timbullah golongan elit baru yaitu kaum inteligensia. Mereka ini sering disebut sebagai kaun intelektual atau juga golongan menengah. Kaum Intelektual ini sangat besar peranannya pada masa pergerakan yaitu sebagai pemimpin nasional yang mengerahkan perlawanan terhadap kolonialisme. Golongan ini  sering bertindak sebagai perintis atau pelopor dalam pelbagai gerakan dan revolusi serta sebagai elite politik. Mereka merupakan golongan berpendidikan Barat dan yang beroposisi terhadap penguasa kolonial (Kartodirdjo, 1983: x-xi).
Akibat adanya pendidikan Barat, di Hindia Belanda muncul golongan berpendidikan. Di antara mereka ini ada yang menjadi wartawan, guru, dokter, pengacara, dan tenaga-tenaga profesional yang bekerja di jawatan atau kantor pemerintah dan swasta. Seiring dengan lahirnya kaum intelektual, lahir organisasi-organisasi pergerakan antara lain Sarekat Islam di Surakarta pada tahun 1911, Indische Partij tahun 1912, Perhimpunan Indonesia tahun 1925, dan Partai Nasional Indonesia di Bandung oleh Soekarno pada tahun 1927 (Lubis, 1998: 50).

Lembaga pendidikan untuk tingkat yang lebih tinggi setelah sekolah menegah di Maluku Tengah tidak ada, hanya terbatas sampai MULO. Bagi mereka yang ingin  melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maka harus melanjutkannya keluar Maluku Tengah. Meraka bisa meneruskan ke Ujungpandang, dan ada pula yang dapat meneruskan sampai perguruan tinggi di Jawa. Golongan intelektual yang berpendidikan akademis ini ada pula yang sekolah di Negeri Belanda.  Pendidikan Barat yang diperoleh oleh masyarakat Maluku Tengah baik yang di Maluku maupun di luar Maluku melahirkan suatu golongan menengah atau kaum intelektual Maluku Tengah yang terdiri dari pegawai, guru, pendeta, dokter, ahli hukum, insinyur, dan lain-lain. Ini merupakan golongan masyarakat yang menentukan perkembangan dalam abad ke-20. Golongan inilah nantinya pada masa pergerakan aktif memperjuangkan nasib Maluku dan Bangsa Indonesia hingga menuju kemerdekaan. Mereka antara lain :
W.K. Tehupeirory, seorang pemuda Ambon yang menamatkan pendidikan di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan kemudian melanjutkan pelajarannya ke sebuah universitas di Negeri Belanda hingga mencapai gelar Europeesche Arts, bersama dengan kakaknya J.E. Tehupeirory, lulus STOVIA pada tanggal 24 November 1902 mendirikan sebuah organisasi yang bernama Ambonsche Studifonds pada 24 September 1909. Organisasi ini diketuai oleh J.A. Soselisa, dengan wakil ketua P. Kuhuwael, bendahara H. Pesulima dan bertindak sebagai penasehat yaitu J.D. Syahaya dan J.M.M. Hetharia.
A.J. Patty, pemuda Ambon yang pernah mengenyam pendidikan di STOVIA, namun ia terpengaruh ideologi yang tergolong radikal maka ia dikeluarkan dari sekolah tersebut. Selanjutnya ia berdiam di Semarang sebagai wartawan. A.J. Patty bersama-sama dengan beberapa tokoh mendirikan Sarekat Ambon pada tanggal 9 Mei 1920. Kaum Intelektual Maluku yang bergabung dalam organisasi ini antara lain J. Kayadu (pendiri Jong Ambon),  J.D. Siahaya, dr. Westplat,  J.D. Samallo, J.M. Leimena, P.R. de Quelyoe, A.E. Kayadu.
J. Latuharhary, seorang ahli hukum yang menamatkan pendidikan hukum di sekolah tinggi hukum di Jakarta kemudian melanjutkan pendidikan di Leiden dan oleh Pemerintah Belanda ditempatkan di Surabaya sejak 1928.  Pada tahun 1929  J. Latuharhary dan J.F. Tuwanakotta melanjutkan perjuangan Sarekat Ambon ketika A.J Patty ditangkap oleh Pemerintah Belanda.
Apituley, menamatkan pendidikan di STOVIA pada tahun 1925. Ia adalah salah seorang pengurus pusat Sarekat Ambon di Jakarta namun ketika pemikirannya tidak sejalan lagi dengan J. Latuharhary maka ia bersama dengan W.K Tehupeirory mendirikan Moluks Politiek Verbond pada tanggal 15 Juli 1929 (Leirissa, 1975: 51-75).
Selain itu, masih banyak lagi intelektual-intelektual dari Maluku di antanya A.M. Sangadji (Sarekat Ambon cabang Surabaya), D. Ajawaila (Sarekat Ambon cabang Ambon), E.U. Pupella (Sarekat Ambon cabang Ambon), Putuhena,  J.H. Tehupeirory,  A.Th. Manusama,  Abdul Sukur, A.E. Kayadu,
J. Tupamahu, (Christellijke Ambons Vlokbond), A. Matulapelwa (Christellijke Ambons Vlokbond), J.L. Matulatuwa, J. Manusama. Dr. Latumeten, J. B. Sitanala, G.A. Siwabessy,  dan lain-lain (Leirissa et al., 1983: 85-102)
      Sejak dekade kedua abad ke-20 kebanyakan orang yang berpendidikan ini berada di luar Maluku. Selain meninggalkan Ambon untuk mencari pekerjaan di Jawa dan lain-lainnya, banyak pula generasi kedua dan ketiga dari orang-orang yang sudah meninggalkan Ambon sejak akhir abad ke-19 untuk melajutkan pendidikan. Kebutuhan akan tenaga-tenaga yang berpendidikan Belanda memang makin lama makin meningkat di luar Maluku. Politik Etis yang membuka pelbagai bidang kedinasan memerlukan pegawai rendah dan menengah. Selain itu, pendidikan kejuruan juga membuka kesempatan yang banyak bagi mereka yang meninggalkan kampung-halamannya. Orang-orang inilah yang merasakan kebutuhan untuk memperbaiki nasib (Leirissa et al., 1983: 85).
Bertolak dari uraian di atas, maka merupakan suatu hal yang menarik untuk meneliti perkembangan pendidikan di Maluku Tengah dan reaksi masyarakat terhadap pendidikan serta pengaruh pendidikan terhadap munculnya golongan intelektual dan pergerakannya pada tahun 1869-1942  karena juga hampir tidak ditemukan tulisan secara komprehensif seperti pokok penelitian di atas. Alasan pemilihan tahun 1869 sebagai awal penelitian karena pada tahun tersebut berdiri sekolah yang sudah terlepas dari unsur agama yaitu Ambonsche Burgerschool, sedangkan penelitian ini diakhiri 1942 karena pada tahun tersebut berakhir pemerintahan kolonial di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini akan diberi judul “Dinamika Pendidikan di Maluku Tengah : Munculnya Kaum Intelektual dan Pergerakannya  (1869-1942).”

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah pokok yang akan diteliti adalah bagaimana pendidikan di Maluku Tengah mempengaruhi munculnya kaum intelektual serta pergerakannya (1869-1942)? Dari pokok masalah tersebut, penulis menjabarkan beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana perkembangan lembaga pendidikan di Maluku Tengah?
Bagaimanakah reaksi masyarakat Maluku Tengah terhadap munculnya lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial?
Bagaimana dampak pendidikan terhadap pembentukan kaum intelektual Maluku Tengah dan pergerakan mereka?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan sistem pendidikan dan reaksi masyarakat terhadap pendidikan serta pengaruh pendidikan terhadap munculnya golongan intelektual dan pergerakannya tahun 1869-1942. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain :
Menggambarkan dan menjelaskan perkembangan lembaga pendidikan di Maluku Tengah.
Menjelaskan reaksi masyarakat Maluku Tengah terhadap munculnya lembaga pendidikan  yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial.
Menjelaskan dampak pendidikan terhadap pembentukan kaum intelektual Maluku dan pergerakan mereka.
1.4 Kegunaan Penelitian
      Kegunaan penelitian ini  akan mencakup dua aspek yaitu aspek teoretis dan aspek praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan  dapat memperbanyak penulisan sejarah Indonesia khususnya penulisan sejarah pendidikan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna untuk lembaga pendidikan di Maluku dalam melihat kondisi pendidikan sekarang ini dengan melihat keadaan sebelumnya agar dapat mengambil kebijakan yang lebih baik untuk mengembangkan pendidikan di Maluku. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap sejarah pendidikan kolonial di Maluku abad ke-19 dan abad ke-20 sehingga diharapkan berguna untuk dosen, mahasiswa, dan peminat sejarah untuk digunakan sebagai referensi.

1.5 Tinjauan Pustaka
Tulisan tentang Maluku Tengah sudah banyak ditulis orang namun penelitian tentang pendidikan yang membawa pengaruh terhadap munculnya kaum intelektual dan pergerakan mereka, sejauh pengetahuan penulis belum diteliti secara komprehensif. Sejarah tentang Maluku dari berbagai aspek sudah ditulis oleh beberapa penulis atau peneliti, baik dalam bentuk artikel ilmiah atau buku. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Karya I.J. Brugmans yang diterbitkan pada 1938 dengan judul Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie. Karya yang ditulis dengan Bahasa Belanda ini melihat pendidikan di Hindia Belanda secara keseluruhan walaupun ada menyinggung tentang pendidikan di Maluku tapi tidak secara rinci melihat pertumbuhan dan perkembangan sekolah-sekolah yang ada di Maluku.
Pada tahun 1986 diterbitkan buku oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Balai Pustaka yang ditulis oleh Sumarsono Mestoko dkk, dengan judul Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman. Di dalamnya dibahas pendidikan di Indonesia sebelum kedatangan Belanda hingga zaman kemerdekaan. Di sini digambarkan pendidikan di Indonesia secara sistematis  dari zaman ke zaman sehingga kelihatan perbedaan yang jelas. Karena mengkaji  pendidikan di Indonesia, secara otomatis melihat secara umum bagaimana proses perkembangan sekolah-sekolah di Indonesia dan lebih banyak mengkaji kondisi pendidikan daerah Jawa sehingga Maluku dan daerah lainnya di luar Jawa hanya disinggung sedikit. Pendidikan di Maluku yang dibahas juga lebih banyak pada masa VOC, namun pendidikan di Maluku pada pertengahan abad ke-19 tidak digambarkan sama sekali.
      Karya J.A. Pattikayhatu dkk, yang berjudul Sejarah Pendidikan Daerah Maluku ini merupakan hasil proyek penelitian yang diadakan oleh Proyek Inventarisasi dan Dokumen Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tulisan ini menggambarkan pendidikan di Maluku sejak zaman tradisional hingga zaman kemerdekaan Indonesia. Hanya saja pendidikan di Maluku digambarkan secara umum sehingga tidak didapatkan informasi secara rinci tentang perkembangan lembaga pendidikan di Maluku Tengah. Penjelasan tentang pendidikan di Maluku pada pertengahan abad ke-19 hingga tahun 1942 juga tidak tergambarkan secara menyeluruh dan terperinci.
Disertasi yang ditulis oleh Cornelis Adolf Alyona yang berjudul Pendidikan Barat di Maluku Tengah 1885-1942: Timbulnya Dualisme dalam Sistem Pendidikan. Pada bagian awal kajiannya  dirinci  pertumbuhan pendidikan Barat di Maluku mulai abad ke-17 hingga abad ke-20 kemudian diperlihatkan pula kebijakan pemerintah di bidang pendidikan 1885-1942 dan terakhir menjelaskan tentang jenis-jenis sekolahnya. Dalam karya ini hanya dibahas pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikannya, tidak dibahas bagaimana reaksi masyarakat terhadap sekolah tersebut dan tidak juga dibahas pengaruh pendidikan terhadap masyarakat Maluku Tengah seperti yang akan diteliti oleh penulis. Namun demikian, karya ini sangat berharga sebagai sumber penelitian untuk tesis yang akan penulis susun.
Karya Robert van Niel yang berjudul Munculnya Elit Modern Indonesia mengkaji bagaimana terjadi perubahan elit-elit Indonesia sejak munculnya Politik Etis pada awal abad ke-20. Van Niel menjelaskan perubahan dari elit yang bersifat tradisional yang berdasarkan keturunan menjadi elit modern yang disebabkan oleh faktor pendidikan. Ia juga menjelaskan bahwa elit baru ini dengan intelektualitas yang mereka miliki adalah hasil mengenyam pendidikan Barat, yang dapat mengerakkan golongan elit untuk melakukan pergerakan dengan membentuk organisasi-organisasi, baik organisasi sosial maupun politik di antaranya Boedi Oetomo, Indische Partij, Sarekat Islam dan lain-lainnya. Robert van Niel dalam karyanya mengkaji elit modern yang bergerak di Jawa tanpa menyingung bagaimana yang ada di daerah-daerah lain dan juga tidak mengkaji golongan elit yang berasal dari Maluku serta organisasi yang didirikan oleh intelektual Maluku. Namun demikian karya ini akan memberikan sumbangan dalam penelitian nantinya dalam mengkaji bagaimana model pergerakan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Sebuah buku yang berjudul Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia yang ditulis oleh Richard Z. Leirissa diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1975. Secara umum tulisan ini menggambarkan perjuangan masyarakat Maluku melawan penjajahan, perjuangan masa kemerdekaan, dan pergolakan RMS. Pada Bab II  diuraikan  tentang pergerakan nasional yang dilakukan oleh orang-orang Maluku. Akan tetapi, pergerakan dan kaum intelektualnya tidak semua diuraikan secara rinci, yang dirinci hanya tentang Sarekat Ambon,  organisasi-organisasi pergerakan lainnya hanya selayang pandang. Berbeda dengan penelitian ini yang ingin mengkaji kaum intelektual dan pergerakannya secara komprehensif.

1.6 Metode Penelitian
      Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yaitu suatu penelitian yang berhubungan dengan peristiwa masa lampau sehingga prosedur penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tujuannya adalah untuk mencoba melakukan rekonstruksi peristiwa masa lalu (Gottschalk, 1986: 32, Sjamsuddin,  2007: 85-87, Herlina, 2008: 15). Heuristik adalah tahapan atau kegiatan menemukan dan menghimpun sumber, informasi, dan jejak masa lalu (Gottschalk, 1986: 32, Herlina, 2008: 15). Heuristik dilakukan mendasarkan pada sumber primer dan sumber sekunder (Herlina, 2008: 17-24). Sumber-sumber ini nantinya akan dicari di Arsip Daerah Maluku di Ambon, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, Perpustakaan Daerah Maluku Di Ambon, dan Perpustakaan Nasional di Jakarta. Sumber-sumber primer yang akan dilacak adalah dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Sumber-sumber sekunder berupa karya-karya tulis yang mengkaji tema ini baik berupa buku, artikel majalah, surat kabar dan lain sebagainya.
Tahapan selanjutnya adalah kritik. Kritik dilakukan untuk menuju ke arah keabsahan sumber. Baik itu untuk meneliti otentisitas sumber, atau keaslian sumber, yang disebut kritik eksternal, dan meneliti kredibilitas sumber, atau kritik internal. Kritik eksternal dilakukan dengan cara memberikan penilaian terhadap kondisi fisik sumber tersebut, seperti jenis kertas yang dipakai, tinta, tulisan, huruf, watermark, stempel, dan sebagainya, Kritik internal ditempuh dengan cara melakulan penilaian instrinsik terhadap sumber tersebut, misalnya menilai penulis atau penyusun sumber tersebut. Selain itu, akan dilakukan juga proses koroborasi yakni mempertentangkan data yang ada dalam sumber tersebut dengan sumber lainnya yang independen. Dengan proses seperti itu, akan diperoleh sumber yang kredibel atau dapat dipercaya (Herlina, 2008: 24-34).
Tahap ketiga adalah interpretasi yakni proses penafsiran terhadap berbagai fakta yang telah terkumpul dalam tahapan heuristik. Interpretasi ada dua macam, yaitu interpretasi analisis artinya menguraikan fakta dan interpretasi sintesis artinya menyatukan atau menghimpun fakta. Untuk memahami informasi yang terkandung dalam sebuah arsip tidak hanya cukup menginterpretasikan secara verbalistik, melainkan juga dapat dikombinasikan dengan menginterpretasikan fakta tersebut secara teknis, faktual, logis, maupun psikologis. Dengan demikian, interpretasi yang dihasilkan dapat dipahami secara menyeluruh dan mendalam  (Herlina, 2009: 36-39).
Tahapan terakhir adalah historiografi yaitu melakukan proses penulisan masa lampau dengan menyeleksi  fakta-fakta kemudian dirangkaikan secara imajinatif menjadi kisah sejarah yang kronologis (Herlina, 2009: 56-60). Dalam proses penulisan juga terkandung penjelasan atau eksplanasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau (Sjamsuddin, 2008: 190).












BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN TEORETIS

Penulisan sejarah kritis selain harus bersifat diakronis, juga memerlukan interpretasi dan analisis secara sinkronis sehingga menghasilkan eksplanasi sejarah (Historical explanation) yang memadai. Untuk dapat melakukan eksplanasi sejarah ini, ternyata teori sejarah saja tidak mencukupi sehingga membutuhkan teori dan konsep dari ilmu bantu sejarah sebagai sebuah pendekatan (Kartodirdjo,  1993: 8, 57 : Herlina, 2008: 83). Dalam penelitian ini dibutuhkan pendekatan antara lain pendekatan psikologi, pendekatan sosiologi dan pendekatan ilmu politik.

2.1 Pendidikan

Pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang luas dan representatif (mewakili/mencerminkan segala segi), pendidikan ialah ... the total process of developing human abilities and behaviors, drawing on almost all life's experiences  (Seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan)(Syah, 2003: 10).
Menurut Dictionary of Psychology (1972) (dalam Syah, 2003; 11) pendidikan diartikan sebagai The institutional procedures which are employed in accomplishing the development of knowledge, habits, attitudes, etc. Usually the term is applied to formal institution. Jadi, pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung secara informal dan nonformal di samping secara formal seperti di sekolah, madrasah, dan institusi-institusi lainnya.
Dari pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa pendidikan yang berjalan pada masa kolonial hanya merupakan proses mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang menjadi apa yang diinginkan oleh pihak kolonial. Pendidikan zaman kolonial tidak untuk menciptakan manusia agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental dan  untuk membuat orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan untuk menguntungkan pemerintah kolonial.
Randall Collins (dalam Sanderson, 2000: 187-189) mengemukakan tiga tipe dasar pendidikan yang ditemukan di seluruh masyarakat dunia di antaranya:
Pendidikan keterampilan praktis, pendidikan ini dirancang untuk memberikan ketrampilan dan kemampuan teknis tertentu yang dipandang penting dalam melakukan kegiatan-kegiatan pekerjaan dan lain-lain. Pendidikan ini didasarkan pada suatu bentuk pengajaran guru-magang (master-apprentice). Pada hakikatnya jenis pendidikan ini adalah satu-satunya pada masyarakat primitif. Juga dijumpai dalam rnasyarakat agraris (misalnya, para tukang rnengajarkan keterampilan mereka kepada calon-calon baru) dan sampai tingkat tertentu, juga ditemukan pada masyarakat industri modern.
Pendidikan untuk keanggotaan kelompok status. Pendidikan kelompok status dilakukan untuk tujuan simbolisasi dan memperkuat prestise dan hak-hak istimewa (privilege) kelompok elite dalam masyarakat yang memiliki pelapisan sosial. Pada umumnya pendidikan ini  dirancang bukan untuk digunakan dalam pengertian teknis dan sering diserahkan kepada pengetahuan dan diskusi badan-badan pengetahuan esoterik. Pendidikan ini secara luas telah dijumpai dalam masyarakat-masyarakat agraris dan industri.
Pendidikan birokratis, pendidikan ini diciptakan oleh pemerintah untuk melayani satu atau kedua tujuan yaitu sebagai alat seleksi untuk merekrut orang-orang untuk posisi-posisi di pemerintahan, atau sebagai cara mensosialisasikan dan mendisiplinkan massa agar memenangkan tuntutan politik mereka. Menurut Sanderson (2000: 190) tipe pendidikan ini pada umumnya memberi penekanan pada ujian, syarat kehadiran, peringkat, dan derajat. Pendidikan bersifat umum pada berbagai peradaban historis yang besar, khususnya pada peradaban yang mempunyai negara birokrasi yang tersentralisasi. Inti dari sistem pendidikan ini ialah sistem ujian. Ujian-ujian yang ketat harus dilewati agar individu-individu itu dapat masuk ke dalam posisi-posisi penting dalam birokrasi pemerintahan. Semakin tinggi suatu  posisi, semakin rumit rangkaian ujian yang harus ditempuh oleh calon. Biasanya hanya sebagian kecil dari calon-calon sarjana itu yang lulus pada setiap ujian.
Dari ketiga tipe sistem pendidikan di atas maka pendidikan di Maluku Tengah yang diterapkan oleh pemerintah kolonial adalah tipe yang ketiga namun di sini pendidikan birokrasi yang dijalankan untuk pribumi hanya untuk memperoleh tenaga birokrasi rendahan. Untuk memperoleh tenaga dalam posisi tinggi hanya diperuntukkan untuk orang-orang Belanda atau Eropa saja.
Kajian ini salah satunya akan diarahkan pada penulisan sejarah pendidikan. Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu,  mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial (Silver, 1985: 2266 ; Talbot, 1972: 193-210).
2.2 Motivasi

Motivasi diperlukan dalam setiap tindakan demikian juga dalam pendidikan. Tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau tujuan tertentu. Motivasi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan yang akan diraih. Teori motivasi yang sekarang  banyak dianut orang adalah teori kebutuhan. Teori motivasi beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis (Purwanto,1992: 73, 77).
Menurut Abraham Maslow, ada lima tingkatan kebutuhan pokok manusia. Kelima tingkatan ini yang kemudian dijadikan pengertian kunci dalam mempelajari motivasi manusia. Adapun kelima tingkatan pokok tersebut yaitu: Pertama, kebutuhan fisiologis yang merupakan kebutuhan dasar, yang bersifat primer dan vital, serta menyangkut fungsi-fungsi biologis dasar dari organisme manusia seperti kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan, kesehatan fisik, kebutuhan seks, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan rasa aman dan perlindungan (safety and security) seperti terjamin keamanannya, terlindung dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, dan perlakuan tidak adil. Ketiga, kebutuhan sosial (social needs) yang meliputi antara lain kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia kawan, kerjasama. Keempat, kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), termasuk kebutuhan dihargai karena prestasi, kemampuan, kedudukan atau status dan pangkat. Kelima, kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization) seperti antara lain kebutuhan mempertinggi potensi-potensi yang dimiliki, pengembangan diri secara maksimum, kreatifitas, dan ekspresi diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan tingkat (Purwanto, 1992: 77-78)
Dengan demikian maka pendidikan yang diikuti oleh masyarakat Maluku Tengah jika dilihat dari motivasi manusia dalam melakukan tindakan adalah kebutuhan  penghargaan  atas diri mereka terutama mereka yang berpendidikan Barat,  mereka yang  bekerja di pemerintahan kolonial atau menjadi serdadu Belanda. Bagi Mereka bekerja pada pihak Belanda menaikkan status mereka lebih tinggi dibandingkan dengan bekerja sebagi petani atau nelayan. Bahkan orang Maluku meminta status persamaan kedudukan hukum dengan bangsa Belanda (gelijkgesteld).

2.3 Kaum Intelektual

Akibat adanya pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial adalah munculnya kaum intelektual Indonesia khususnya dengan penelitian ini adalah kaum intelektual Maluku. Kaum intelektual ini menurut Sartono Kartodirdjo sama dengan kaum inteligensia yang termasuk dalam golongan elite baru. Mereka itu terdiri dari kaum intelektual dan militer yang didik secara Barat. (Kartodirdjo, 1983: x).
Harry J. Benda (dalam Kartodirdjo ed., 1983: 154-163) membagi kaum intelektual menjadi dua jenis yaitu intelektual “lama” dan intelektual ”baru”. Golongan intelektual “lama” itu tak seberapa artinya, karena tak ada anggota golongan ini yang termasuk dalam golongan elite baru di negara-negara Timur dewasa ini. Golongan intelektual “lama” itu telah, dan juga masih memainkan peranan politik yang penting. Peranan kaum intelektual “lama” itu hampir tak ada perkecualiannya hanya terbatas pada fungsi tambahan atau pembantu, atau dengan kata lain: mereka itu menjalankan tugas politik yang dibebankan kepada mereka oleh kelas yang berkuasa di dalam masyarakat rnereka, sedangkan kaum intelektual “baru” ini merupakan gejala yang masih baru karena sebagian besar dari mereka itu adalah hasil pendidikan Barat selama beberapa abad yang lalu. Ciri utama  kaum intelektual ”baru” bukan hanya sekedar dapat membaca dan menulis melainkan adanya proses pembaratan. Pembaratan yang berarti berfikir dan bertindak secara Barat. Kebanyakan kaum intelektual “baru” cenderung untuk menentang status quo dari suatu dunia yang baik secara langsung maupun tidak. Dengan demikian, baik feodalisme maupun kolonialisme, baik kekuasaan oleh golongan pribumi maupun kekuasaan oleh orang-orang asing menjadi hal yang ditentang oleh kaum intektual “baru” (Harry J. Benda, dalam Kartodirdjo ed., 1983: 154-163)
Menurut Robert van Niel (Niel, 1984: 12) garis besar perkembangan elit Indonesia adalah bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elite modern yang berorentasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. Ada disebutkan tetang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional dan para intelektual,  tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dibuat adalah antara elite fungsional dan elite politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin, yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang, mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang Indonesia yang terlibat di dalam aktifitas politik untuk berbagai tujuan tapi yang biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagi pembawa perubahan, sedangkan golongan kedua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis (Niel, 1984: 12)
Dari ciri-ciri kaum intelektual menurut Benda dan van Niel yang dijabarkan di atas maka kaum intelektual yang muncul pada masyarakat Maluku adalah intelektual “baru” , golongan elit fungsional maupun elit politik yang keberadaan mereka akibat dari keikutsertaan mereka dalam pendidikan Barat. Pendidikan yang mereka terima mengubah pola pikir yang tradisional ke cara berpikir modern dalam artian kebaratan  sesuai dengan pendidikan Barat yang mereka terima.

2.4 Pergerakan
Penelitian ini akan mengkaji tentang pergerakan kaum intelektual Maluku, untuk itu akan dilihat konsep pergerakan yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1999: 312) pergerakan adalah kebangkitan untuk perjuangan atau perbaikan. Dalam penelitian ini pergerakan yang dimaksudkan adalah pergerakan Indonesia atau pergerakan nasional. Menurut A.K. Pringgodigdo kata pergerakan Indonesia (Pringgodigdo, 1986: viii) adalah meliputi semua macam aksi yang dilakukan dengan organisasi modern ke arah perbaikan hidup untuk bangsa Indonesia, oleh karena tidak puas dengan keadaan masyarakat yang ada. Pergerakan ini tidak hanya gerakan yang menuju ke perbaikan derajat hidup semuanya (aksi politik), tetapi juga mengenai hal yang hanya sebagian saja (seperti hanya perekonomian, hanya kebudayaan, hanya keagamaan, hanya pengajaran, hanya soal kewanitaan, hanya kepemudaan dan sebagainya). Istilah pergerakan ini tidak hanya mengenai pergerakan untuk kepentingan bangsa Indonesia seluruhnya, tetapi juga meliputi gerakan yang hanya oleh sebagian dari bangsa Indonesia saja seperti hanya dari Jawa, dari Sumatera, dari Ambon, dari Minahasa, dari Timur dan lain sebagainya.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1999: 287-230), pergerakan nasional adalah tindakan kelompok atau aktivitas bersama untuk menghadapi kondisi-kondisi hidup dengan jalan mengadakan reaksi yang sesuai dengan posisi kelompok tersebut. Kata “nasional” dipergunakan dengan maksud menunjukkan seluruh aktivitas dari pergerakan di semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama yaitu berjuang melawan kekuasaan kolonial. Pergerakan nasional yang diwujudkan dalam bentuk organisasi-organisasi yang bergerak dalam berbagai bidang di antaranya politik, kultural, ekonomi, dan sosial. Inilah yang disebut dengan diferensiasi Pergerakan Nasional, pergerakan sebagai suatu kesatuan tindakan kelompok yang lahir pada bidang politik, kultural, ekonomi dan sosial yang sifatnya kompleks dan simultan.
Untuk mengkaji pergerakan yang dilakukan oleh kaum intelektual Maluku, konsep-konsep yang dikemukakan di atas sangat cocok. Pergerakan kaum intelektual Maluku adalah pergerakan sebagian bangsa Indonesia yang bergerak di berbagai bidang di antaranya bidang sosial adalah Ambonsche Studifonds, bidang politik adalah Sarekat Ambon, Moluksch Politiek Verbond, bidang ekonomi dan budaya adalah Christellijke Ambons Vlokbond dan Kemadjoean Maloekoe Sedjati.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan Barat yang dinikmati oleh sebagian masyarakat Maluku Tengah melahirkan kaum intelektual, dan pada gilirannya kaum intelektual ini menjadi pelopor dalam pergerakan nasional.















DAFTAR PUSTAKA

Benda, Harry J, 1983. “Kaum Inteligensia Timur sebagai Golongan Elite Politik”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed). Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Brugmans, I.J. 1938. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch Indie. Groningen: J.B. Wolters.

Depdikbud, 1981. Sejarah Daerah Maluku. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdikbud.

Depdikbud, 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djumhur, I dan H. Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: Ilmu.

Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid 5. 1989. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan penerbit Universitas Indonesia.

Herlina, Nina. 2008. Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.

Kartodirdjo, Sartono (ed). 1983. Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama

__________. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Leirissa, R.Z. 1975. Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia. Jakarta: Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

__________. 1983. Sejarah Sosial Di Daerah Maluku. Jakarta: Depdikbud.

__________. 1989 “Midras dan Ambonsche Burgerschool: Dua Bentuk Sekolah yang Bertolak Belakang di Maluku Tengah dalam Masa Penjajahan” dalam Pendidikan sebagai FaktorDinamisasi dan Integrasi social. Jakarta: Depdikbud.

Lubis, Nina Herlina. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda

Lubis, Nina H. et al. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid 2. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

Mestoko, Sumarsono et al. 1983. Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman. Depdikbud Jakarta: Balai Pustaka.

Monografi Daerah Maluku. Depdikbud: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan

Nasution, S. 2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Niel, Robert van, 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Pattikayhattu, Jhon A. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Maluku Jakarta: P3KD Depdikbud
Pattikayhatu, Jhon A. et al. 1980. Sejarah Pendidikan Daerah Maluku. Depdikbud. Proyek IDKD

Pringgodigdo, A.K. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat

Purwanto, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sanderson, Stepehen K. 2000. Makro Sosiologi sebuah Pendekatan terhadap Realitas sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Silver, H. 1985. "Historiography of Education", dalarn The International Encyclopedia of Education.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sudirman N, et al. 1990. Ilmu pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Talbott, John E. 1972. "Education in Intellectual and Social History", dalam Felix Gilbert & Stephen R. Graubard, ed. Historical Studies Today. New York: W.W.



Lampiran 1
KERANGKA SEMANTARA (OUTLINE) TESIS
DINAMIKA PENDIDIKAN DI MALUKU TENGAH
Munculnya Kaum Intelektual dan Pergerakannya
(1869-1942)


BAB I     PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Rumusan Masalah
Maksud dan Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Tinjauan Pustaka
Metode Penelitian
Kerangka Pemikiran Teoretis
Sistematika Penulisan

BAB II   PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI MALUKU TENGAH
Maluku Tengah dalam Lintasan Sejarah
Pendidikan di Maluku pada Zaman VOC
Pendidikan di Maluku pada Awal Abad ke-19
Pendidikan Barat di Maluku Tengah  1869-1942

BAB III  REAKSI MASYARAKAT MALUKU TENGAH TERHADAP PENDIDIKAN
Reaksi dari Masyarakat Golongan Burger
Reaksi dari Masyarakat Kalangan Atas
Reaksi dari Masyarakat Pedesaan (Kalangan bawah)
           
BAB IV DAMPAK PENDIDIKAN TERHADAP MASYARAKAT  MALUKU              
4.1  Munculnya Kaum Intelektual Maluku
4.2  Pergerakan Kaum Intelektual Maluku
4.2.1 Organisasi Sosial
4.2.2 Organisasi Politik
4.2.3 Organisasi Kultural
4.2.4 Organisasi Ekonomi

BAB V    SIMPULAN
DAFTAR SUMBER
LAMPIRAN



Lampiran 2
Peta Kepulauan Maluku

Sumber :  Diakses dari http://sbelen.wordpress.com/2008.../page/2/ , tanggal 29 Januari 2010, Pukul 15.55 WIB.





Lampiran 3
Peta Propinsi Maluku




Sumber : Diakses dari http://www.jakarta.go.id/maluku/...eta.html , Tanggal 29 Januari 2010, pukul 16.05 WIB






Lampiran 4
Lokasi Penelitian Daerah Maluku Bagian Tengah




     











Sumber : Diakses dari http://maluku-jateng.blogspot.com/_Wh8Xl4ldQaw/S...ive.html
   Tanggal 29 Januari 2010, Pukul 16.30










Lampiran 5

Peta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Uliasse Tahun 1941









































Sumber :  Drs. J.R van Diessen, Prof. DR. F.J. Ormeling. Grote Atlas van  Nederlands Oost-Indie. Penerbit Asia Maior, 2004