Sabtu, 19 Agustus 2017

Studi Perdaban Islam

                 LAPORAN STUDI PERADABAN ISLAM





                                             OLEH :
                                    IWAN MAKATITA
                                          201431274






        FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
             PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
                  UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON
                                                2017

Qasidah
Pengertian Qasidah
Pengertian kasidah yang terdapat dalam khazanah kesusasteraan Indonesia mirip dengan kasidah yang ada dalam sastra Arab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan bahwa kasidah merupakan “bentuk puisi, berasal dari kesusateraan Arab, bersifat pujian (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan (dilagukan)” (Tim Penyusun Kamus, 1988:493). Meskipun demikian, istilah tersebut berbeda dengan istilah yang sama yang terdapat dalam ungkapan “lagu kasidah” yang umumnya berbahasa Indonesia.
Istilah kasidah menurut Ma’luf dan Cowan dalam Syihabuddin (1997:16) berasal dari kata qasada yang salah satu bentuk infinitifnya ialah qasid atau qasidah dan berarti ‘dimaksudkan’, ‘disengaja’, dan ‘ditujukan kepada sesuatu’. Al-Hasyimi (t.t) dalam Syihabuddin (1997:16) mengungkapkan bahwa qasidah ialah syair yang larik-larik baitnya sempurna. Sebuah sya’ir disebut kasidah karena kesempurnaannya dan kesahihan wazannya, karena pengungkapnya menjadikannya sebagia hiburan, menghiasinya dengan kata-kata yang baik dan terpilih; karena kasidah itu diungkapkan dari hatinya dan perasaannya, bukan dari penalarannya semata.
Sementara itu Nicholson (1962:76-77) menegaskan bahwa pengertian kasidah itu berpusat pada masalah bentuk struktur, persajakan akhir, dan jumlah baitnya. Yang mirip dengan Nicholson di atas ialah pendapat Houtsma (1927:952) yang mengatakan bahwa kasidah merupakan sebuah istilah yang menunjukkan suatu jenis sya’ir yang sangat panjang. Kata kasidah itu sendiri menunjukkan kepada fungsinya, yaitu ditujukkan untuk memuji (“madaha”) kabilahnya atau seseorang, sehingga si penyair beroleh suatu hadiah, atau dimaksudkan untuk mencela suatu kabilah atau seseorang yang dibencinya. Jadi, kasidah ini dapat berbentuk satire maupun ode.
Selanjutnya Houtsma dalam Syihabuddin (1997:17) menegaskan bahwa sebuah kasidah memiliki struktur penceritaan tertentu. Yaitu ia diawali dengan unsur “nasib” atau “gazal” (kerinduan kepada kekasih, kampung halaman, atau berupa percintaan). Setelah itu dilanjutkan kepada unsur kedua berupa gambaran petualangannya dan perjalanannya tatkala pergi menuju kekasihnya dan kampung halamannya. Pada bagian inilah biasanya si penyair menggambarkan kehebatan kudanya, untanya, keganasan padang pasir, dan keberaniannya dalam menghadang bintang buas. Kemudian unsure kedua ini diikuti unsur ketiga berupa inti kasidahnya, yaitu memuji atau mencela seseorang atau suatu kabilah. Kemudian kasidahnya ditutup dengan ajaran-ajaran moral.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, kasidah tidak lagi memegang seluruh konvensi di atas. Di antara konvensi yang ditinggalkannya ialah struktur penceriataan kasidah. Dan sebagian penyair pun menggunakan konvensi ‘arudl secara lebih longgar. Hal ini terjadi pada perkembangan syair periode modern.
Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa kasidah sebelum periode modern merupakan syair panjang yang terikat oleh konvensi ‘arudl, bersifat madah (ode) atau hija’ (satire), dan memiliki struktur penceriataan yang terdiri atas tiga unsur sehingga menjadikannya panjang. Dewasa ini konvensi tersebut tidak lagi dipegang seketat pada periode sebelum modern.
 3) Jenis Musik
Menurut Djohan (2006:43-44), kedekatan suara dengan keseharian manusia kemudian membuka peluang untuk melihat suara dari berbagai sudut pandang yang lain. Dari kacamata psikologi misalnya, pemahaman seseorang mengenai suara sangat tergantung pada bagaimana persepsi orang tersebut terhadap apa yang ia dengar. Persepsi ini dipengaruhi pengalaman musikal dan pengalaman sosial budaya. Sebagai contoh seorang tentara akan terbiasa dengan letusan senjata karena merupakan bagian dari latihan sehari-hari, namun bagi masyarakat awam, bunyi letusan senjata dapat dengan segera memicu ketakutan akan terjadinya suatu hal yang buruk. Pemahaman terhadap suara dan musik juga sangat dipengaruhi faktor budaya. Masyarakat Barat akan segera mempersepsikan nada-nada gamelan yang pentatonik sebagai “musik Timur” dan sebaliknya seorang pengrawit yang mendengar repertoar musik klasik akan segera menganalogikannya dengan “musik Barat”. Selain itu, setiap budaya pada umumnya juga memiliki jenis musik yang khas. Pemahaman tentang aspek psikobiologis suara berawal dengan pengertian bahwa perubahan getaran udara sebenarnya adalah musik. Jauh sebelum pembentukan ontogenetik dan filogenetik suara musik, fenomena akustik yang ditemukan sudah merupakan nilai-nilai terapi musik. Fenomena akustik ini membuat orang dapat menghargai dan menentukan kembali suara eksternal serta menerjemahkan suara tersebut ke dalam bahasa musik. Akustik, suara, vibrasi, dan fenomena motorik sudah sejak ovum dibuahi oleh sperma untuk membentuk manusia baru. Pada saat itu terdapat berbagai proses yang melingkupi telur dalam kandungan, berproduksi dengan gerakan dinamis, mempunyai vibrasi, dan memiliki suara tersendiri. Misalnya, bunyi yang dihasilkan oleh dinding rahim, urat nadi, aliran darah yang mengalir bisikan suara ibu, suara dan desah nafas, mekanisme gerakan dan gesekan tubuh bagian dalam, gerakan otot, proses kimiawi dan enzim, serta banyak lainnya. Semua ini dapat dikelompokkan sebagai sebuah kesempurnaan suara.
Montello ((2004:41) menghubungkan jenis musik dengan aspek kecerdasan musik manusia, pertama, adalah musik badan, menurut ilmu pengetahuan dan falsafah yoga, terdapat lima tingkat fungsional yang membentang di seluruh spektrum kesadaran manusia. Dari yang paling kasar sampai yang paling halus, kesadaran itu meliputi tingkat badan fisik, badan energi/napas, pikiran, intuisi/intelek, dan kebahagiaan. Selanjutnya jenis musik energi, dimana mempengaruhi kekuatan untuk hidup. Menurut Gurdjieff dalam Montello (2004:73); Waktu adalah napas, Dunia napas/energi menyediakan hubungan antara material badan yang lebih padat dan dunia pikiran yang lebih halus. Menurut Hazrat Inayat Khan (1983:201), seorang ahli sufi, napas adalah hasil dari arus [yang] mengalir tidak hanya lewat badan, tetapi juga lewat semua bidang keberadaan manusia arus dari seluruh alam adalah napas sebenarnya itu adalah satu napas tetapi sekaligus banyak napas.
Sumber energi sebenarnya adalah kerangka getaran yang di seputarnya terbentuk badan fisik. Dalam teori Jenny tentang partikel besi lemah, tiba-tiba hidup dan mengatur diri menjadi pola orsinil ketika nada berneda yang bergetar menjadi bidang logam tempat mereka istirahat. Artinya jenis musik dengan nada gembira mampu mempersatukan partikel-partikel besi lemah tersebut menjadi bentuk indah yang tertata rapi.
Demikian pula, setiap jenis musik akan mempengaruhi sekitar kehidupan dan dinamika yang didekatnya sehingga membentuk sesuatu karena pengaruh getaran nada dan gelombang musik tersebut.
4) Nilai Musik
Musik dapat bernilai karena termasuk seni yang mampu membangun keselarasan, keseimbangan dan keindahan peradaban manusia, dan mengapa seni musik disebut sebagai seni surgawi, sementara seni yang lain tidak disebut seperti itu? Yang jelas melihat Tuhan ada dalam semua jenis kesenian dan ilmu pengetahuan. Namun, hanya seorang musisi sufistik saja yang, mampu melihat Tuhan bebas dari segala bentuk dan pemikiran.
Dalam tiap kesenian yang lain terdapat nilai pengidolaan. Setiap pemikiran, setiap kata, memiliki bentuk nilai. Setiap kata dalam bentuk puisi membentuk sebuah gambar dalam pikiran, dan gambaran itu adalah nilai itu sendiri. Musik, tak lebih kecil nilai-nya dari gambaran Sang Kekasih, karena musik adalah gambaran Sang Kekasih. Maka jika seseorang menyukai musik karena ia mencintai Sang Kekasih itu, sekarang apakah Kekasih? Atau di mana Kekasih itu? Kekasih adalah yang menjadi sumber nilai dan tujuan kita. Apa yang kita lihat dari Kekasih di depan mata ragawi kita adalah keindahan yang ada di depan kita. Bagian dari Kekasih kita yang tidak berujud dalam mata kita adalah bentuk batiniah dari keindahan nilai yang diwahyukan
Sang Kekasih kepada kita melalui Nabi Saw.Oleh karenanya, karena keterbatasan manusia, ia tidak akan mampu melihat wujud Tuhan secara ragawi di dunia fana ini, jika ingin melihat Tuhan di dunia ini lihatlah Ia dalam bentuk kreasi-Nya dan seluruh ciptaan-Nya, sebab segala yang dicintai di dalam warna, baris dan bentuk, atau kepribadian segala yang dicintai dan bernilai adalah milik dari Keindahan sejati yang merupakan Kekasih seluruh makhluk. (Khan, 1996: 3-4).
Ketika menelusuri sesuatu yang menarik dalam keindahan ini, yang dilihat dalam semua bentuk, maka akan diketahui, bahwa ini adalah gerak keindahan yang menggambarkan betapa agungnya nilai musik itu. Segala bentuk sifat, bunga-bunga yang dibentuk dan diwarnai begitu sempurna, planet, bintang, bumi semuanya memberikan gagasan tentang keselarasan, tentang nilai musik.
Bila nilai musik diikuti dan dijiwai oleh para seniman musik (musisi), maka tidak diperlukan lagi nilai eksternal, suatu hari musik akan menjadi sarana mengekspresikan agama universal, walaupun memerlukan waktu, dan suatu ketika akan muncul bahwa musik dan falsafahnya menjadi agama manusia, sebagai konstatasi nilai efikasi musical terhadap pembinaan kepribadian sufistik/religi setiap insan.
Pengertian tentang nilai musik, menunjukkan bahwa musik berada pada kedalaman eksistensi manusia. Musik ada di balik karya seluruh alam semesta. Nilai musik bukan hanya objek terbesar kehidupan, namun juga kehidupan itu sendiri. (Khan, 1996: 15).
 5) Nilai Sastra
Seni sastra termasuk ke dalam jejak tertulis, jejak material yang dapat dipahami informasinya lewat media bahasa. Kemajuan teknik dapat mendatangkan kemudahan dalam menghadapinya. Sastra, baik yang tertulis maupun lisan, yang memberikan keterangan tentang masa lampau berupa informasi kepoada kita pantas disebut sebagai bahan-bahan dokumenter bagi studi sejarah. Sebagai bahan-bahan dokumenter, sastra memiliki kekhasan, ia bersifat naratif dan karenanya dapat dikategorikan sebagai accepted history; contohnya adalah babad, hikayat, sejarah (dalam arti klasik), tambo, dan kalau di Barat kronik dan annales (Soeroto, 1980:4). Sedangkan nilai sastra itu ada pada karya penciptaannya, berpengaruh atau tidaknya sebuah karya sastra terhadap perkembangan moralitas, etika kemanusiaan dan lain-lain. Untuk dapat menilai karya sastra haruslah diketahui norma-norma karya sastra. Sebab itu, kita tidak bisa meninggalkan pekerjaan mengurai atau menganalisis karya sastra. Setelah itu, kita hubungkan dengan penilaian kepad tiap-tiap lapis norma karya sastra dan kita kumpulkan kembali, yaitu memberi nilai secara keseluruhan kepada karya sastra itu berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lapis-lapis norma itu yang berkaitan secara erat. Jadi, secara keseluruhan, nilai yang kita berikan sampai pada kesimpulan bahwa karya sastra itu bernilai tinggi atau kurang bernilai berdasarkan kualitas isi dari karya sastra itu, maka akan lahirlah nilai-nilai sastra qualified.

Samrah

Samrah merupakan kesenian yang komplit. Didalamnya tergabung jenisjenis kesenian : Musik, pantun, tari dan lakon.

Istilah samrah mungkin berasal dari bahasa Arab "Samarokh" yang berarti "kumpul". Penamaan ini sesuai dengan kenyataan pada waktu yang lampau samrah ditampilkan pada saat-saat orang berkumpul setelah aeara "Maulid" dan "malam Angkat" dalam rangkaian upaeara pernikahan menurut tradisi Betawi, tanpa disediakan panggung cukup disediakan tempat tertentu saja. 
Pertunjukan musik dan tari Samrah lazim dilanjutkan dengan membawa cerita. Kalau pertunjukan musik dan tarinya diselenggarakan tanpa panggung, teaternya pun dengan sendirinya tanpa panggung, yakni dengan pentas berbentuk arena, sesuai dengan keadaan tempat. Komando sebagai tanda dimulainya pertunjukan, biasanya diueapkan oleh tuan rumah yang mempunyai hajat : "Ayo dong meja-kursi digeserin, piring mangkok dibenahin, Nyok deh kite nyerbu" maka diatas tikar yang terbentang, disitulah pertunjukan dilakukan. Tampak bahwa Samrah tampil dalam pesta perkawinan, bukan pada upaeara lainnya. Mereka main karena diundang, tanpa dibayar, pemain dan hadirin hanya bertujuan menari  hiburan belaka. Tidak mengherankan bilamana kostum para pemain Samrah yang asH berupa jas, kain plakat dan peei, suatu seragam yang biasa dipakai oleh kaum pria Betawi menghadiri upaeara pernikahan. Teater 

Samrah pada umumnya tidak menggunakan dekor, kadang-kadang ada yang melengkapinya dengan sebuah meja dan dua buah kursi. Cerita yang biasa dibawakan teater Samrah adalah dengan bahasa Melayu tinggi dengan banyak menggunakan kata-kata Melayu Riau seperti eneik, abang, tuan, gerangan, hamba dan fain-lain, walaupun diueapkan dalam, lafal melayu Betawi. Tonil Samrah ini sesudah perang dunia kedua popularitasnya dikalangan remaja makin berkurang. Peremajaannya mandeg. 
Hal ini mungkin karena lagu-agunya yang berbau "kuno" dengan iramanya yang lamban, atau karena musiknya sulit dimainkan, rata-rata bernada minor; atau karena tariannya yang berdasarkan gerakan silat seni bela diri yang masih belum meluas atau juga karena pantunnya yang jarang orang menghafalkannya luar kepala. Tokoh-tokoh samrah yang aktif dewasa ini antara lain Harun Rasyid, M. Zein, Arifin, Ali Sabeni dan lain-lain, yang rata-rata berusia lima puluh tahun keatas. Seperti halnya Dermuluk penyebaran Samrah terbatas di daerah tengah kota. Sampai sebelum perang dunia kedua, Tonil Samrah dimainkan melulu oleh kaum pria saja, baik penarinya maupun peran wanitanya. 
Mungkin hal ini adalah karena masyarakat Betawi termasuk kelompok yang ketat menganut agama Islam, sehingga haram bagi wanita untuk menjadi anak panggung. Pergelaran toni! samrah pada masa lalu terdiri dari beberapa bagian : ada pembukaan berupa tarian, ada nyanyian, ada lawakan dan lakon. Dalam membawakan eerita, eiri khas Samrah terlihat dari penyampaian maksud yang berbentuk pantun yang dinyanyikan. Sama seperti "pakem" opera, karena pada dasarnya toni! samrah juga berasal dari teater rakyat Melayu Riau yakni Teater Dermuluk, tetapi dalam perkembangannya berubah bentuknya setelah muneul di Betawi menjadi Melayu Betawi. Karena berbau opera itulah, para pemain Samrah harus paham dan pandai berpantun dan bernyanyi.

Pementasan samrah dimulai dengan penampilan musik dan tari-tarian. Pengaruh budaya Arab sangat terasa karena para penari menggunakan gamis atau busana muslim. Sedangkan nuansa lokal terasa pada lagu-lagu yang dinyanyikan seperti Burung Putih, Pulau Angsa Dua, Cik Minah Sayang, Sirih Kuning, Masmura, Kicir-Kicir, Jali-Jali, Lenggang-Lenggang Kangkung,dan sebagainya. Setelah pementasan musik dan tari selesai, penonton akan disuguhi pertunjukan lakon atau teater yang kadang diiringi dengan pantun. Samrah biasanya dipentaskan saat menggelar acara pernikahan , khitanan, maulid nabi, serta peringatan keagamaan lainnya.

Contoh Kesenian Samrah
Badendang
Badendang dalam bahasa Ambon berarti berdansa/bergoyang. Tradisi Malam Badendang merupakan sarana untuk berkumpul keluarga dan membangun kebersamaan dalam hidup bermasyarakat. Dalam acara ini para peserta acara akan menarikan tari-tarian daerah seperti katerji dan orlapei. Acara yang berlangsung semalam suntuk ini juga dimeriahkan dengan karoke dan makanan khas Maluku.
            Selain dilaksanakan untuk acara kumpul keluarga, malam badendang juga diselenggarakan untuk memeriahkan acara seperti pernikahan,sidi,wisuda, dll. Acara ini digelar setelah jam 12 malam saat para tamu undangan telah pulang dan yang tinggal hanya keluarga dan kerabat. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu yang energik dan yang slow. Tarian dalam acara seperti ini adalah tarian bebas layaknya sedang dugem di club malam.

Gambar orang sedang badendang

Baku Pukul Sapu
Pukul Sapu merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa Mamala sebuah desa yang berada di pulau Ambon.Tradisi ini dilakukan setiap 7 Syawal atau sepekan setelah hari raya Idul Fitri, tradisi ini dilakukan oleh para lelaki. Mereka bertelanjang dada dengan menggunakan celana pendek dan ikat kepala. Sebelum mereka melakukan aktraksi pukul memukul mereka akan dikumpulkan di rumah adat untuk mengikuti serangkaian acara adat dan meminta doa kepada leluhur agar diberkati.
            Pemain pukul sapu berjumlah 10 sampai 15 orang yang terbagi dalam 2 kelompok dengan warna celana berbeda. Mereka memegang sapu lidi yang terbuat dari tulang daun pohon mayang (Pohon Enau) dengan panjang sekitar 1,5 meter dengan diameter pangkal lidi 1-3 cm. Mereka akan mulai saling memukul sampai tubuh mereka luka-luka dan bengkak, namun para pemain pukul sapu mengatakan bahwa mereka tidak pernah merasa sakit pada tubuh mereka, mereka hanya mereasa nyaman dan geli ketika setiap lidi dari sapu itu dipukulkan ke badan mereka.
Sekitar abad ke- XVI negeri Mamala diperintah dan dipimpin oleh tiga orang  tokoh yakni:
1. Latu Liu sebagai pimpinan pemerintahan adat Negeri Mamala
2. Patti Tiang Bessy / Patti Tembessi (Tukang Besar yang memimpin pembangunan mesjid)
3. Imam Tuny (Imam Masjid) 
Ketiga orang tersebut kemudian bermufakat mendirikan masjid. Semua persiapan mulai diadakan berupa pengumpulan bahan-bahan bangunan khususnya kayu dengan mengerahkan rakyat untuk menebang kayu di lereng-lereng gunung dan perbukitan disekitar Mamala. Selanjutnya kayu diangkut atau dipikul bersama-sama ke lokasi masjid. Salah satu di antara kayu jatuh dari pikulan dan pata]i menjadi dua, kayu yang patah ini panjangnya 20 meter. Waktu itu kebutuhan kayu untuk pembangunan masjid berukuran panjang dan harus dalam keadaan utuh atau tidak boleh sambung. Hal ini yang membuat ketiga pemimpin di atas dan masyarakat negeri Mamala mencari solusi yang tepat untuk menyambungkan kayu, sebab dalam kebutuhan pembanguan Masjid diperlukan balok kayu yang panjang dan tidak boleh disambung. Berbagai cara dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat negeri Mamala belum juga menunujukkan hasil yang diharapkan baik dalam bentuk usaha fisik maupun dalam bentuk berdoa kepada Allah Swt untuk memohon petunjuk-Nya. Keesokan harinya ilham yang diperolah Imam Tuny segera dilaporkan kepada Latu Liu dan Patti Tiang Besy dan menampakkan kegembiraannya. Dan ketiga pemimpin tersebut bermufakat untuk mempraktekkannya dan ternyata memberikan hasil yang sangat menggembirakan yakni dengan utuhnya / tersambung kembali balok kayu yang patah tersebut. 
Berdasarkan hal tersebut, maka ketiga pemimpin mereka berpendapat bahwa kalau terhadap kayu yang patah minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dapat berkhasiat maka kepada manusiapun akan bermanfaat. Musyawarah dilakukan dan musyawarah dicapai, yaitu dengan ditetapkannya tanggal dilakukan percobaan terhadap manusia dengan menggunakan lidi aren. Lidi aren menurut kepercayaan masyarakat merupakan senjata yang bertuah. Cara yang dilakukan adalah dengan membentuk kelompok kemudian selain memukul. Pada luka-luka yang ditimbulkan oleh pukulan lidi aren kemudian dioleskan minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Beberapa saat kemudian ternyata luka-luka tersebut mengering dan sembuh. 
Dari sinilah atas musyawarah bersama masyarakat negeri. Mamala maka ditetapkan pada tahun 1545 M., digelarkan acara ukuwala mahiate yang pertama kali sebagai percobaan terhadap manusia dengan menggunakan ukuwala / lidi aren dan dijadikan sebagai senjata dalam tarian adat ukuwala mahiate.
Upacara ritual ukuwala mahiate dilaksanakan setiap tahun tepatnva pada tanggal 8 Syawal di negeri Mamala, setelah mereka melaksanakan puasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan puasa sunnah Syawal. Upacara ritual ini dilatarbelakangi oleh adanya pembanguan Masjid di negeri Mamala. Oleh karena itu, keberadaan Masjid inilah yang melahirkan adanya upacara ukuwala mahiate. Dalam pelaksanaan upacara ini terdapat makna-makna simbol yang diuraikan di atas yakni masjid, nyuwelain matehu (Minyak Mamala). dan ukuwala mahiate tidak bisa dipisahkan atau merupakan satu rangkain yang utuh dalam pelaksanaan upacara ritual ini. 
Upacara ritual ukuwala mahiate / pukul sapu yang mengandung nilai-nilai budaya yang sangat tinggi merupakan upacara adat negeri Mamala yang sangat terkenal sehingga mampu menarik perhatian masyarakat dan para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Pementasannya tidak hanya ditujukan untuk disaksikan oleh masyarakat setempat tetapi terbuka bagi semua komunitas tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan. Kata ukuwala terambil dan bahasa negeri Mamala yang artinya sapu lidi sedangkan Mahiate artinya baku pukul. Jadi arti dari ukuwala mahiate adalah baku pukul manyapu.  
Pukul Manyapu atau Baku Pukul Manyapu merupakan atraksi unik dari Maluku Tengah yang biasanya dipentaskan di Desa Mamala dan Desa Morella, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Berlangsung setiap 7 syawal (penanggalan Islam) dimana telah berlangsung dari abad XVII yang diciptakan seorang tokoh agama Islam dari Maluku bernama Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan keberhasilan pembangunan masjid yang selesai dibagun pada 7 syawal setelah Idul Fitri.

Kirab Budaya Pembukaan Perayaan 7 Syawal Di Desa Mamala
Tradisi ini juga dikaitkan dengan sejarah masyarakat setempat yaitu perjuangan Kapiten Tulukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke-16 di tanah Maluku. Pasukan Tulukabessy bertempur untuk mempertahankan Benteng Kapapaha dari serbuan penjajah meskipun perjuangan mereka gagal dan Benteng Kapapaha tetap jatuh juga. Untuk menandai kekalahan tersebut, pasukan Tulukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk hingga berdarah.

Cambuk Lidi Yang Di Pakai Dalam Tradisi Pukul Manyapu
Tradisi Pukul Manyapu dipandang sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di Desa Mamala dan Desa Morella. Dipertunjukan oleh pemuda yang dibagi dalam dua kelompok dimana setiap kelompoknya berjumlah 20 orang. Kedua kelompok dengan seragam berbeda itu akan bertarung satu sama lain. Kelompok satu menggunakan celana berwarna merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana berwarna hijau. Pesertanya juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Alat pukul dalam tarian ini adalah sapu lidi dari pohon enau dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dari dada hingga perut.
Jalannya Atraksi
Ketika atraksi dimulai, kedua kelompok akan saling berhadapan dengan memegang sapu lidi di kedua tangan. Ketika suara suling mulai ditiup sebagai aba-aba pertandingan dimulai kemudian kedua kelompok ini secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi. Dimulai dengan kelompok bercelana merah memukul kelompok bercelana hijau atau sebaliknya. Ketika dimulai maka suara cambukan lidi di badan peserta akan terdengar dan darah pun keluar akibat sabetan lidi. Suasana ini akan membuat tubuh Anda bergidik.
Kehebatan dari tradisi pukul manyapu ini adalah bagaimana pesertanya seakan tidak merasa kesakitan walaupun tubuh mereka mengelurkan darah akibat dari sabetan lidi. Akan tetapi, jangan kaitkan itu dengan kekuatan mistis atau gaib, karena para peserta sebenarnya sudah melebur dalam semangat yang telah membenamkan rasa sakit.

Badan Orang Yang Di Pukul Dalam Tradisi Pukul Manyapu
Ketika pertempuran selesai, pemuda kedua desa tersebut menggobati lukanya dengan menggunakan getah pohon jarak. Ada juga yang mengoleskan minyak nyualaing matetu (minyak tasala) dimana mujarab untuk mengobati patah tulang dan luka memar.
Tradisi pukul manyapu merupakan perayaan yang ditunggu-tunggu warga dan wisatawan setiap tahunnya. Anda dapat melihat proses pembuatan pohon enau menjadi sebuah lidi dan juga pengolahan minyak kelapa untuk pengobatan selepas tradisi ini. Selain itu, tradisi ini juga diramaikan dengan permainan rebana, karnaval budaya, dan pertunjukan tari lokal seperti tari putri, tari mahina, dan tari perang. Dikabarkan, desa Mamala dan desa Morella meraup untung dari kedatangan wisatawan baik lokal, regional maupun internasional terutama dari Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar